Jumat, 01 September 2017

Suatu Kemungkinan untuk Filsafat Globalisasi


Tulisan ini adalah sebuah refleksi atas artikel J. B. Schneewind, “Globalization and the History of Philosophy”, Journal of the History of Ideas, 66/2, (2005): 169-178. Berbicara tentang kemungkinan untuk ‘filsafat globalisasi’, atau suatu filsafat tentang kondisi globalisasi, dan beberapa persoalan yang terlibat dalam penyusunannya.

Jika kita ingin menyusun suatu filsafat globalisasi, maka pertama-tama kita harus menerima asumsi dasar dikotomi Barat-Timur. Di satu sisi, nyatanya filsafat Barat-lah yang melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan modern, dan karena itu sesuai untuk menjadi dasar dari suatu filsafat globalisasi. Di sisi lain, akan banyak keberatan jika filsafat Barat dijadikan pendasaran tunggal dan tertutup bagi suatu cara untuk menanggapi kondisi globalisasi.

Dengan demikian, kita harus secara sadar menentukan asumsi dasar dari filsafat globalisasi, dan asumsi itu adalah dikotomi Barat-Timur.

Jika kita tidak menyadari asumsi dasar dari filsafat globalisasi yang akan disusun, atau tidak menerima asumsi di atas sebagai dasarnya, maka setidaknya terdapat dua kemungkinan.

Pertama, filsafat globalisasi yang kita susun adalah analisis filosofis terhadap kondisi globalisasi dari perspektif filsafat Barat. Hal ini sebenarnya sah, karena bagaimanapun filsafat Barat-lah yang paling siap – baik secara kekiniannya dan lingkupnya – untuk menanggapi kondisi globalisasi. Tetapi pihak yang keberatan dengan filsafat kita akan memiliki sasaran kritik yang jelas, globalisasi dan filsafat yang membicarakannya dapat dengan mudah dinilai sebagai sekadar proyek modernitas Barat.

Kedua, kita mungkin menyusun suatu filsafat globalisasi berdasarkan filsafat non-Barat – contohnya filsafat Cina atau India. Tetapi karena tradisi-tradisi filsafat non-Barat tidak beresonansi kuat dengan dunia modern, risikonya adalah filsafat globalisasi yang kita susun sangat mungkin jatuh menjadi suatu analisis yang anakronistis dan anakultural.

Jadi dengan diterimanya asumsi dasar dikotomi Barat-Timur, kita dapat menunjukkan bahwa pilihan kita untuk berpijak – yaitu filsafat Barat – bukanlah pengaruh dari hegemoni dan dominasi Barat, melainkan pilihan paling masuk akal untuk mendapatkan pijakan yang kukuh. Asumsi tersebut juga menunjukkan bahwa kita masih memberi ruang bagi filsafat non-Barat.

Setelah menetapkan asumsi dasar, maka tugas berikutnya adalah menjelaskan ‘apa itu filsafat (philosophy)’.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, filsafat globalisasi yang akan kita susun berpijak pada filsafat Barat dan mendapat masukan dari filsafat Timur (non-Barat). Masalahnya, tidak semua budaya memiliki padanan yang persis sama bagi filsafat serta fungsinya seperti dalam kebudayaan Barat.

Karena itu definisi filsafat yang berporos pada pengertiannya dalam kebudayaan Barat tidaklah memadai, demikian pula penjelasan kata ‘filsafat’ berdasarkan akar kata Yunani-nya.

Lebih tepat jika penjelasan ‘apa itu filsafat’ mencakup juga wilayah pemikiran atau permainan bahasa dalam kebudayaan non-Barat yang memiliki fungsi sebagaimana filsafat dalam kebudayaan Barat.

Setelah apa yang disebut ‘filsafat’ menjadi jelas, tugas selanjutnya adalah menentukan bentuk bagi filsafat globalisasi.

Bentuk yang tepat bagi filsafat globalisasi bukanlah suatu mazhab pemikiran, karena – berdasarkan sejarah filsafat Barat – mazhab pemikiran biasanya terkait erat dengan tradisi negara-bangsa (seperti rasionalisme Perancis, idealisme Jerman, atau pragmatisme Amerika), padahal peran negara-bangsa justru akan menyusut dalam kondisi globalisasi.

Bentuk yang tepat bagi filsafat globalisasi – berdasarkan dikotomi Barat-Timur – adalah filsafat perbandingan. Dengan bentuk filsafat perbandingan, kita dapat memastikan bahwa filsafat Barat dan non-Barat memiliki peran yang relatif setara. Di mana filsafat Barat menjadi pijakan dan kerangka dari filsafat globalisasi yang akan kita susun, sedangkan filsafat non-Barat memberikan masukan mengenai keterbatasan asumsi filosofis yang mungkin terkandung dalam filsafat Barat.

Dalam bentuk filsafat perbandingan, filsafat non-Barat juga dapat kita gunakan untuk menanggapi suatu perdebatan kontemporer tanpa harus takut menjadi anakronistis atau anakultural, karena kini filsafat itu telah dikerangkai oleh filsafat Barat.

Akhirnya, jika kita ingin menyusun suatu filsafat mengenai kondisi globalisasi, maka kita harus menentukan wilayah analisisnya. Jelas bahwa suatu filsafat globalisasi tidak dapat lagi menganalisis lokus kekuasaan berdasarkan geografi atau negara. Karena dalam kondisi globalisasi, peran keduanya justru akan menurun. Maka dari itu, analisis sebaiknya ditujukan pada lokus kekuasaan transnasional berdasarkan isu, misalnya kesetaraan gender atau lingkungan hidup.


Catatan: Untuk keperluan blog, rujukan sengaja tidak dicantumkan.