Rabu, 20 Oktober 2021

The Electricity Companies War

Tentang film The Current War: Director's Cut (2017)

The Current War: Director's Cut (2017) adalah film tentang persaingan yang berhubungan dengan arus listrik di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. The Current War itu film yang indah, dipenuhi dengan visual yang mengesankan. Para bintang memainkan perannya dengan cemerlang. Kostum, tata rias, dan interior mewah yang tampak di layar pun memanjakan mata.

Namun, jika berharap menyaksikan kegigihan dua orang penemu dalam upayanya menemukan sistem listrik terbaik, anda akan kecewa. Memang dalam film ini ada dua penemu besar, Edison dan Tesla. Memang film ini membicarakan sistem listrik yang waktu itu bersaing, arus searah (direct current/DC) dan arus bolak-balik (alternating current/AC). Akan tetapi, film ini bukan tentang persaingan Edison dan Tesla dalam menemukan dan mengembangkan sistem listrik terbaik.

Thomas Alva Edison (Benedict Cumberbatch)

The Current War adalah film tentang persaingan antara Thomas Alva Edison (Benedict Cumberbatch) dan George Westinghouse (Michael Shannon) sebagai pengusaha untuk mengaliri listrik di Amerika. Sebagai persaingan bisnis, persoalannya bukan menemukan dan mengembangkan sistem listrik terbaik, melainkan memenangkan tender untuk mengaliri listrik kota-kota di Amerika dengan teknologi yang dimiliki. Persoalannya bukan menjalani proses ilmiah yang penuh trial and error dengan gigih untuk mencapai hasil terbaik, melainkan memamerkan keunggulan teknologi pihak sendiri dan mengekspose kelemahan teknologi pihak lawan melalui konferensi pers dan demonstrasi teknologi.

Edison yang mempromosikan sistem listrik DC, tidak pernah mempertimbangkan sistem listrik AC sebagai sistem listrik yang lebih baik. Ketika Nikola Tesla (Nicholas Hoult) bekerja untuknya, Edison mengabaikan keinginannya untuk membangun pembangkit untuk sistem AC. Edison lebih memilih untuk menyebarluaskan keyakinannya bahwa sistem DC lebih aman, dan karenanya lebih baik, juga betapa berbahayanya sistem AC yang dipromosikan Westinghouse. Keyakinan Edison ini datang dari fakta, sistem AC beroperasi pada tegangan listrik yang jauh lebih tinggi daripada sistem DC. Mulanya, Edison hanya mengutarakan pendapatnya tersebut di depan banyak wartawan. Kemudian, ia mendemonstrasikan betapa berbahayanya sistem saingannya, dengan mengaliri seekor hewan dengan listrik AC sampai mati. Lebih jauh lagi, Edison merekomendasikan listrik AC sebagai alat eksekusi hukuman mati kepada negara bagian New York, untuk mendiskreditkan Westinghouse.

George Westinghouse (Michael Shannon)

Sementara Westinghouse, disamping menghadapi serangan Edison, mesti menghadapi persoalan yang lebih mendasar. Sistem AC sebenarnya lebih unggul daripada DC, karena listriknya dapat ditransmisikan melalui jarak yang lebih jauh. Persoalannya, Westinghouse saat itu belum memiliki pembangkit untuk sistemnya. Persoalan baru dapat diatasi setelah ia membeli paten pembangkit yang dapat beroperasi menggunakan listrik AC, dan mempekerjakan penciptanya yaitu Tesla. Tesla berhasil menciptakan pembangkit untuk sistem listrik AC, dan Westinghouse dapat mengkomersialkannya.

Perang Arus pun berakhir. Westinghouse memenangkan tender penyedia listrik untuk pameran besar Chicago World’s Fair tahun 1893. Ditambah, perusahaannya mendapat kontrak untuk membangun pembangkit listrik tenaga air besar di Air Terjun Niagara. Sedangkan Edison, meski seorang penemu terkenal, dipaksa keluar dari perusahaannya sendiri. Ia pun tidak dapat mengikuti tender Chicago World’s Fair, yang menjadi incarannya.

Nikola Tesla (Nicholas Hoult)

Agaknya Alfonso Gomez-Rejon, sang sutradara, menyadari tema persaingan bisnis dan pembicaraan yang ada di dalamnya itu membosankan untuk sebuah film. Karenanya, ia memasukkan hal-hal tentang penemuan dan kegeniusan. Edison ditampilkan, meski bercela, sebagai penemu genius dengan berbagai keeksentrikannya. Tesla ditampilkan sebagai perwujudan dari kegairahan pada persoalan teoretis murni tentang listrik. Juga, pada bagian akhir film ditunjukkan, ada yang kurang dari kemenangan Westinghouse sang pengusaha, yaitu sensasi yang dialami seorang penemu ketika berhasil menemukan sesuatu. Westinghouse bertanya kepada Edison, “I only wondered what it felt like.” Ia melanjutkan, “The bulb. When you knew. What was the feeling in that moment?

Meski sang sutradara berusaha menarik film ini menjadi film tentang penemuan dan kegeniusan, film ini tetaplah film tentang persaingan bisnis, karena fakta yang menjadi dasarnya pun memang demikian. Apa yang dapat kita terima dari film ini, yang disebut dengan Perang Arus tahun 1880-an hingga 90-an di Amerika itu sebenarnya adalah perang bisnis antara perusahaan listrik. Mungkin seperti persaingan bisnis yang lebih dekat waktunya dengan kita, antara Apple dan Microsoft untuk menguasai pasar personal computer (PC). Daripada The Current War, mungkin lebih tepat tetapi juga lebih tidak menarik, jika film ini diberi judul The Electricity Companies War.

Selasa, 10 Agustus 2021

Impresi Van Gogh

Tentang Film At Eternity’s Gate

Siapa yang tak kenal Vincent van Gogh, pelukis besar Belanda yang karya-karyanya ada di daftar lukisan termahal. Kisah hidupnya menjadi menarik karena kontras dengan penghargaan yang diperoleh setelah kematiannya itu. Hidup singkat, penuh kesulitan, ditambah pula pergulatan dengan gangguan mental. Jangankan sukses dan memiliki banyak penggemar, van Gogh semasa hidupnya disalahpahami oleh masyarakat, dan hanya mampu menjual satu atau dua lukisan. Karena menarik, sudah banyak film yang mengangkat kisah hidup van Gogh.

At Eternity’s Gate (2018) karya Julian Schnabel, sutradara dan salah satu penulis naskah, adalah sebuah film biografi impresionistik. Film ini bukan suatu usaha serius untuk memahami van Gogh atau seninya. Film ini lebih sebagai suatu cara untuk menikmati keindahan yang menawan sang seniman, juga bagaimana rasanya menjadi sang seniman yang diliputi dan terobsesi dengan kebutuhan tak terhindarkan untuk menyampaikan keindahan itu pada dunia. Menyaksikan film ini, kita tenggelam dalam dunia van Gogh, bersama sang seniman mengalami dan melukisnya. Tentang melukis, meski tidak berfokus pada teknik van Gogh, film ini menampilkan caranya melukis. Seperti cara van Gogh menggunakan sapuan tegas untuk memperkuat garis objek saat cat masih basah. Van Gogh melukis dengan cepat, dan ketergesaan ini merupakan bagian integral dari estetika dan pendekatannya. Schnabel sendiri memang seorang pelukis. Sehingga dapat dikatakan, At Eternity’s Gate adalah penghargaan dari seorang pelukis ke pelukis lainnya.

Van Gogh di film ini diperankan oleh Willem Dafoe. Aktor yang seperempat abad lebih tua dari van Gogh pada saat kematiannya. Dafoe berusia 63 tahun pada saat memerankan van Gogh, sedangkan van Gogh meninggal pada usia 37 tahun. Hal ini tidak menjadi pilihan yang ganjil karena, setidaknya berdasarkan lukisan potret dirinya, van Gogh memang tampak lebih tua dari usianya. Van Gogh yang diperankan Dafoe itu tampak sakit-sakitan, kurus, dan pucat. Penampilan seorang pria yang disiksa oleh kehidupan yang serba kekurangan dan kesakitan. Sedangkan matanya lebar, jeli, bersemangat, namun cemas. Karena dengan matanya, van Gogh melihat dunia yang keindahannya mengilhami lukisannya. Tatapannya yang gigih ini juga menunjukkan suatu dorongan untuk terus hidup meskipun kesulitan tak henti-henti menimpanya.

Kelemahan besar film ini adalah, Schnabel memilih untuk menggambarkan kematian van Gogh sebagai penembakan yang tidak disengaja oleh sekelompok anak muda, suatu pendapat alternatif. Pendapat ini, menurut Greg Cwik, ada di buku Van Gogh: The Life (2011) karya Steven Naifeh dan Gregory White Smith. Pendapat umum mengenai hal ini adalah, kematian van Gogh dikarenakan upaya bunuh diri. Bentuk film biografi impresionistik yang dipilih Schnabel tidak tepat untuk mengajukan suatu pendapat alternatif, yang membutuhkan narasi kuat. Dengan bentuk yang dipilihnya itu, lebih bagus jika Schnabel menampilkan peristiwanya secara impresionistik. Van Gogh ditemukan berdarah di ladang, dibawa kembali ke kamarnya, dan meninggal beberapa hari kemudian. Kesan atas peristiwa itu, serahkan saja ke penonton.