Jumat, 20 Mei 2022

Kelemahan Squid Game

Pesan moral yang ingin disampaikan Squid Game (2021) adalah: Kebaikan, meski melalui jalan berliku dan terjal, pada akhirnya akan mengatasi semuanya. Dalam seri ini, pesan itu ditampilkan dengan, orang baik dapat memenangkan suatu pertandingan hidup mati, injak bawah, sikut kiri kanan, dengan hanya satu orang pemenang.

Namun, pesan itu diganggu oleh satu bagian dalam Squid Game, yaitu bagian permainan kelereng. Dalam permainan kelereng, setiap peserta memilih pasangan bermain, dan diberi sejumlah kelereng. Setiap pasangan bebas menentukan permainan kelereng yang akan dimainkan. Peserta yang bisa mengambil semua kelereng pasangannya, lolos ke babak berikutnya. Sedangkan peserta yang kelerengnya diambil semua oleh pasangannya, dieksekusi oleh penjaga.

Diceritakan, Seong Gi-hun (Lee Jung-jae) sang protagonis berpasangan dengan kakek Oh Il-nam (Oh Yeong-su) pemain nomor 001. Dalam permainan, si kakek menunjukkan gejala pikun. Entah karena ingin menang atau takut mati, Gi-hun memanfaatkan kepikunan si kakek untuk memenangkan permainan. Gi-hun pun lolos ke babak berikutnya, dan mendengar si kakek dieksekusi. Ternyata, diceritakan pada akhir musim, kakek Il-nam masih hidup dan tidak pikun. Berarti, dalam permainan kelereng, ia hanya pura-pura pikun dan mengalah, agar Gi-hun lolos ke babak berikutnya.

Bagaimana bagian permainan kelereng ini mengganggu pesan moral yang ingin disampaikan. Diceritakan, di balik segala kelemahannya, Gi-hun itu pada dasarnya baik, tidak mau menggadaikan kemanusiaannya untuk apa pun. Bahkan di bagian klimaks seri ini, ia tetap tidak mau mengorbankan orang lain, orang yang sudah terbukti jahat, walau tindakan itu mempertaruhkan kemenangannya yang sudah di depan mata. Bagian permainan kelereng menunjukkan, orang baik itu mencurangi kakek renta dengan memanfaatkan kelemahannya, setidaknya agar ia selamat. Artinya, baiknya Gi-hun tidak semurni yang diceritakan sepanjang seri.

Kemudian diceritakan, si kakek masih hidup dan tidak pikun. Apa itu artinya Gi-hun tidak bersalah, dan kemurnian baiknya masih terjaga. Tidak juga. Di waktu permainan, ia tahunya si kakek pikun. Atas dasar pengetahuannya itu - juga berbagai tekanan - ia memutuskan untuk berbuat curang pada si kakek.

Tidak mengembalikan kemurnian baiknya Gi-hun, si kakek masih hidup dan tidak pikun malah mendatangkan gangguan lain untuk pesan moral yang ingin disampaikan. Dalam permainan kelereng, si kakek ternyata hanya pura-pura pikun, dan mengalah agar Gi-hun lolos. Jika si kakek tidak mengalah, Gi-hun belum tentu lolos, dan nantinya keluar sebagai pemenang Squid Game. Jika protagonis yang berhati baik belum tentu selamat dari kondisi ekstrem permainan winner takes all dengan taruhan nyawa, berarti pesan moral seri ini bukan kebaikan pada akhirnya akan mengatasi semuanya. Jika pesan moralnya bukan itu, lantas cerita di bagian klimaks bahwa Gi-hun mau melepaskan kemenangan yang sudah di depan mata agar tidak mengorbankan orang lain, untuk apa disampaikan?

Rabu, 18 Mei 2022

Tokoh Utama Squid Game

Sebelumnya sudah diutarakan hal-hal yang menarik dari Squid Game (2021) sebagai sebuah seri, saya sekarang ingin membicarakan satu bagian yang menarik dari seri itu. Bagian yang menarik itu adalah, kelemahan Seong Gi-hun (Lee Jung-jae) sang protagonis, gila judi.

Sejak awal seri sudah diceritakan hidup Gi-hun berkutat soal judi, taruhan, dan masalah yang dibawanya. Ia ikut judi pacuan kuda, menggunakan uang yang diambil dari ibunya. Kemudian, ia dikejar-kejar penagih, karena memiliki hutang yang besar. Kemungkinan ia menggunakan uangnya untuk berjudi juga. Selanjutnya, ia bukannya membeli hadiah untuk anaknya yang berulang tahun, dengan uang pemberian ibunya, malah menggunakannya untuk bermain permainan mengambil hadiah menggunakan capit, yang lagi-lagi berbau judi. Setelah mengalami hari yang buruk, ia masih mau diajak taruhan oleh orang yang tak dikenalnya. Hal yang membawanya ke permainan Squid Game.

Di akhir seri, setelah melalui rangkaian permainan yang taruhannya nyawa, tidak kapok, Gi-hun masih mau diajak taruhan, kali ini oleh si kakek pemain nomor 001. Tidak selesai sampai di situ, setelah memanfaatkan uang hadiah permainan untuk berbagai keperluan, ia tidak jadi menjemput anaknya dan hidup bersamanya, sesuai rencana awal. Ia malah tampak mau ikut Squid Game lagi, atau membongkar penyelenggaraan permainan itu. Yang berarti, ia mempertaruhkan kebahagiaannya dan anaknya. Seri ini pun berakhir.

Jika Squid Game berakhir di sini, tidak ada musim-musim berikutnya, ending-nya cukup memuaskan. Pertama, karena seri ini memberi ending gantung, yang terbuka untuk interpretasi. Gi-hun selanjutnya mau melakukan apa, mau ikut Squid Game lagi, mau menyetop penyelenggaraan permainan itu, terserah penonton saja. Kedua, karena ending ini memberi kompleksitas pada tokoh utama yang relatif sederhana. Tokoh yang pada dasarnya baik, menjunjung kemanusiaan di atas segalanya, ternyata memiliki kegilaan akan judi. Kegilaan yang membuat si tokoh mempertaruhkan, jangankan kemanusiaan secara umum, bahkan kebahagiaan dirinya dan anaknya sendiri. Hal ini akan menjadikan Gi-hun seperti tokoh-tokoh kepahlawanan klasik dengan kelemahan fatal, seperti Yudistira dan permainan dadunya dalam epos Mahabharata, atau Achilles dan tumitnya dalam mitologi Yunani.

Seperti permainan Squid Game yang akan terus diselenggarakan selama masih ada orang kaya yang mau membayar untuk menikmatinya, demikian pula seri Squid Game akan terus dilanjutkan selama masih banyak orang mau berlangganan Netflix untuk menontonnya. Rencana musim kedua pun sudah diumumkan. Kita nantikan saja, apakah musim-musim berikutnya membuat Squid Game lebih bagus, atau justru merusaknya. Kalau hanya untuk mengejar keuntungan sih biasanya yang kedua.

Senin, 16 Mei 2022

Tentang Squid Game

Squid Game (2021) adalah sebuah fenomena global. Seri asal Korea Selatan ini, bersama Lupin (2021) dan Money Heist (2017), menjadi salah satu seri berbahasa non-Inggris yang sukses di Netflix. Setelah tayang perdana pada bulan September, Squid Game dengan cepat menjadi acara terpopuler Netflix, dan bertahan selama berminggu-minggu. Seri ini memiliki jutaan penggemar di seluruh dunia, dan menimbulkan kehebohan online. Ceritanya dibicarakan oleh banyak orang, potongan gambarnya dijadikan meme, permainan yang ada di dalamnya pun dimainkan atau ditiru.

Squid Game menurut sutradara dan penulisnya, Hwang Dong-hyuk, adalah sebuah, “... alegori atau fabel tentang masyarakat kapitalis modern”. Seri ini menceritakan sekelompok orang susah yang bertanding dalam serangkaian permainan anak-anak yang mematikan untuk memenangkan hadiah uang dalam jumlah sangat besar yang dapat mengubah hidup.

Tokoh utama Squid Game adalah Seong Gi-hun (Lee Jung-jae). Gi-hun memiliki banyak hutang, gagal dalam pernikahan, ayah yang tidak bertanggung jawab, dan menjadi beban untuk ibunya yang tua dan sakit. Di usia hampir 50 tahun, ia adalah bocah tua nakal, yang percaya nasibnya akan berubah melalui judi.

Pada suatu hari, Gi-hun didekati oleh seorang pria berpakaian necis di peron kereta bawah tanah, dan mengajaknya melakukan suatu permainan dengan taruhan. Jika menang, ia akan diberi uang. Jika kalah, ia akan ditampar. Setelah bermain, pria berpakaian necis itu memberinya kartu undangan untuk mengikuti permainan yang lebih besar.

Sepakat mengikuti permainan, Gi-hun dibawa ke lokasi terpencil yang tidak diketahui, sebuah asrama yang sangat besar. Di sana, ia bersama dengan 455 orang susah lainnya, yang juga sepakat untuk mengikuti permainan. Sebuah kompetisi yang terdiri dari enam permainan anak-anak. Permainan pemungkasnya adalah Squid Game, galasin ala Korea yang dimainkan di atas lapangan berbentuk cumi-cumi. Taruhan permainan ini sangat besar. Yang menang, pulang dengan uang yang sangat banyak. Yang kalah, mati.

Cerita Squid Game disusun di atas struktur yang sudah umum digunakan. Dari episode pertama, kita dapat menebak banyak hal yang terjadi di delapan episode berikutnya. Yang menang, protagonisnya. Tokoh-tokoh yang dekat dengan protagonis, selamat sampai babak-babak lanjut. Bahkan, seberapa jauh selamatnya pun sesuai dengan kedekatan si tokoh dengan protagonis.

Ceritanya pun gamblang, jelas dan mudah dimengerti. Kenapa permainan itu diadakan, kenapa seorang tokoh mau mengikuti permainan itu, dan sebagainya, diceritakan dengan jelas dan mudah dimengerti. Bahkan jika ada sesuatu yang perlu dijelaskan, seperti aturan permainan, akan ada tokoh yang menjelaskannya agar kita mengerti.

Penokohan Squid Game juga sederhana. Protagonis, dibalik banyak kelemahannya, adalah manusia yang murni baik, meyakini nilai ‘kemanusiaan di atas segalanya’. Antagonis, dalam hal ini Cho Sang-woo (Park Hae-soo), meyakini nilai yang berkebalikan 180 derajat dari protagonis ‘materi di atas segalanya’ bahkan kemanusiaan. Tokoh-tokoh lainnya berada di antara protagonis dan antagonis, dari yang mementingkan kemanusiaan daripada keuntungan materi, sampai yang mementingkan keuntungan materi dengan mengorbankan orang lain.

Squid Game memang seri yang sederhana, tetapi tetap menarik.

Cerita Squid Game yang strukturnya umum digunakan dan gamblang itu dalam. Seiring berjalannya seri, ceritanya menjadi semakin dalam. Cerita Squid Game itu dalam karena menyentuh perasaan-perasaan mendasar kita. Cemas akan masa depan yang tidak tentu, ingin mempunyai uang lebih banyak, juga berharap bisa keluar dari kesulitan hidup.

Demikian pula sisi horornya. Meski menampilkan banyak tubuh yang bergelimpangan, darah yang muncrat, bahkan jeroan, tetapi Squid Game tidak mengandalkan hal-hal tersebut untuk membuat kita takut. Seri ini lebih mengandalkan horor psikologis. Cemas akan ketidakmenentuan, ngeri berhadapan dengan kematian, dan tentu takut miskin.

Squid Game sebenarnya mengandung banyak hal yang khas Korea, di antaranya tentu saja permainan-permainannya, juga kisah pembelot Korea Utara, Kang Sae-byeok (Jung Hoyeon), yang mengikuti permainan agar mendapat uang untuk membawa ibunya ke Selatan. Namun, kedalaman ceritanya menyentuh perasaan mendasar banyak orang, sehingga seri ini dapat diterima secara global.

Tempo penyampaian cerita dan pemotongan per episode Squid Game juga sangat baik. Episode yang hampir satu jam tidak membosankan dan tidak terlalu penuh, memberi ruang untuk episode selanjutnya. Hal ini membuat Squid Game sangat adiktif, kita ingin menontonnya terus sampai selesai satu musim.

Di luar itu, Squid Game dengan cerita yang strukturnya umum digunakan dan gamblang hadir di tengah tren seri dengan penuh plot twist. Seri semacam Game of Thrones dan The Walking Dead. Seri yang di dalamnya kita menemukan tokoh yang dipikir akan memiliki peran penting ternyata mati beberapa adegan kemudian. Juga, cerita yang diduga akan membawa ke suatu titik ternyata membawa ke titik yang sama sekali tak diduga. Di tengah tren seperti ini, cerita yang strukturnya umum digunakan dan gamblang dalam Squid Game justru menjadi twist tersendiri. Jika kita sudah terbiasa dengan seri yang tokoh sentralnya mendadak mati, dan ceritanya tiba-tiba berbelok, seri yang tokoh utamanya benar-benar baik, selamat, dan menang jadi kejutan yang menyenangkan.

Hal lain yang membuat Squid Game menarik, tokoh-tokoh sentralnya, meski dengan penokohan sederhana, dieksplorasi dengan baik. Seiring berjalannya seri, lapisan karikatur tokoh-tokoh itu dikupas sampai kita menemukan manusia di dalamnya. Hal ini membuat kita peduli dengan mereka dan nasibnya. Contohnya adalah sang protagonis Gi-hun, dibalik seorang pengangguran, pecundang, yang berjudi dengan uang ibunya, ada manusia baik, yang tidak mau menggadaikan kemanusiaan demi apa pun.

Fokus pada karakter para tokoh ini memang disengaja, dalam sebuah wawancara dengan Variety, Hwang mengatakan, “Permainan yang ditampilkan sangat sederhana dan mudah dimengerti. Hal ini membuat pemirsa untuk fokus pada karakter, daripada terganggu karena mencoba mengerti aturan (permainan).”

Hal lain lagi yang membuat Squid Game menarik adalah estetikanya yang dramatis. Permainan ditampilkan seperti dunia di dalam video game. Semua bentuk dan ukurannya dilebih-lebihkan, sudutnya tajam seperti piksel, dan warnanya cerah. Sedangkan dunia tempat tinggal para tokoh digambarkan suram keabu-abuan. Estetika ini menimbulkan kesan, ketika para tokoh meninggalkan kesehariannya untuk mengikuti permainan, mereka pindah dunia, dari dunia orang dewasa yang kelam ke dunia anak-anak yang lebih murni.

Jadi, Squid Game itu sederhana. Struktur ceritanya sudah umum digunakan. Kita bisa menebak banyak hal dalam seri ini. Ceritanya gamblang, jelas dan mudah dimengerti. Ditambah lagi dengan adanya dialog-dialog penjelas. Penokohannya sederhana. Protagonisnya baik murni, antagonisnya berkebalikan 180 derajat dari protagonis.

Namun, seri sederhana ini menarik. Cerita yang strukturnya umum digunakan dan gamblang itu dalam, menyentuh perasaan-perasaan mendasar kita. Tempo penyampaian cerita dan pemotongan per episodenya sangat baik, membuat kita ingin menontonnya terus sampai selesai satu musim. Ditambah, seri yang strukturnya umum digunakan dan ceritanya gamblang ini hadir di tengah tren seri penuh plot twist. Sehingga keumuman dan kegamblangannya justru menjadi twist tersendiri. Tokoh-tokoh sentralnya juga dieksplorasi dengan baik, membuat kita peduli dengan mereka dan nasibnya. Serta, estetikanya dramatis, mendukung cerita yang ingin disampaikan.

Rabu, 20 Oktober 2021

The Electricity Companies War

Tentang film The Current War: Director's Cut (2017)

The Current War: Director's Cut (2017) adalah film tentang persaingan yang berhubungan dengan arus listrik di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. The Current War itu film yang indah, dipenuhi dengan visual yang mengesankan. Para bintang memainkan perannya dengan cemerlang. Kostum, tata rias, dan interior mewah yang tampak di layar pun memanjakan mata.

Namun, jika berharap menyaksikan kegigihan dua orang penemu dalam upayanya menemukan sistem listrik terbaik, anda akan kecewa. Memang dalam film ini ada dua penemu besar, Edison dan Tesla. Memang film ini membicarakan sistem listrik yang waktu itu bersaing, arus searah (direct current/DC) dan arus bolak-balik (alternating current/AC). Akan tetapi, film ini bukan tentang persaingan Edison dan Tesla dalam menemukan dan mengembangkan sistem listrik terbaik.

Thomas Alva Edison (Benedict Cumberbatch)

The Current War adalah film tentang persaingan antara Thomas Alva Edison (Benedict Cumberbatch) dan George Westinghouse (Michael Shannon) sebagai pengusaha untuk mengaliri listrik di Amerika. Sebagai persaingan bisnis, persoalannya bukan menemukan dan mengembangkan sistem listrik terbaik, melainkan memenangkan tender untuk mengaliri listrik kota-kota di Amerika dengan teknologi yang dimiliki. Persoalannya bukan menjalani proses ilmiah yang penuh trial and error dengan gigih untuk mencapai hasil terbaik, melainkan memamerkan keunggulan teknologi pihak sendiri dan mengekspose kelemahan teknologi pihak lawan melalui konferensi pers dan demonstrasi teknologi.

Edison yang mempromosikan sistem listrik DC, tidak pernah mempertimbangkan sistem listrik AC sebagai sistem listrik yang lebih baik. Ketika Nikola Tesla (Nicholas Hoult) bekerja untuknya, Edison mengabaikan keinginannya untuk membangun pembangkit untuk sistem AC. Edison lebih memilih untuk menyebarluaskan keyakinannya bahwa sistem DC lebih aman, dan karenanya lebih baik, juga betapa berbahayanya sistem AC yang dipromosikan Westinghouse. Keyakinan Edison ini datang dari fakta, sistem AC beroperasi pada tegangan listrik yang jauh lebih tinggi daripada sistem DC. Mulanya, Edison hanya mengutarakan pendapatnya tersebut di depan banyak wartawan. Kemudian, ia mendemonstrasikan betapa berbahayanya sistem saingannya, dengan mengaliri seekor hewan dengan listrik AC sampai mati. Lebih jauh lagi, Edison merekomendasikan listrik AC sebagai alat eksekusi hukuman mati kepada negara bagian New York, untuk mendiskreditkan Westinghouse.

George Westinghouse (Michael Shannon)

Sementara Westinghouse, disamping menghadapi serangan Edison, mesti menghadapi persoalan yang lebih mendasar. Sistem AC sebenarnya lebih unggul daripada DC, karena listriknya dapat ditransmisikan melalui jarak yang lebih jauh. Persoalannya, Westinghouse saat itu belum memiliki pembangkit untuk sistemnya. Persoalan baru dapat diatasi setelah ia membeli paten pembangkit yang dapat beroperasi menggunakan listrik AC, dan mempekerjakan penciptanya yaitu Tesla. Tesla berhasil menciptakan pembangkit untuk sistem listrik AC, dan Westinghouse dapat mengkomersialkannya.

Perang Arus pun berakhir. Westinghouse memenangkan tender penyedia listrik untuk pameran besar Chicago World’s Fair tahun 1893. Ditambah, perusahaannya mendapat kontrak untuk membangun pembangkit listrik tenaga air besar di Air Terjun Niagara. Sedangkan Edison, meski seorang penemu terkenal, dipaksa keluar dari perusahaannya sendiri. Ia pun tidak dapat mengikuti tender Chicago World’s Fair, yang menjadi incarannya.

Nikola Tesla (Nicholas Hoult)

Agaknya Alfonso Gomez-Rejon, sang sutradara, menyadari tema persaingan bisnis dan pembicaraan yang ada di dalamnya itu membosankan untuk sebuah film. Karenanya, ia memasukkan hal-hal tentang penemuan dan kegeniusan. Edison ditampilkan, meski bercela, sebagai penemu genius dengan berbagai keeksentrikannya. Tesla ditampilkan sebagai perwujudan dari kegairahan pada persoalan teoretis murni tentang listrik. Juga, pada bagian akhir film ditunjukkan, ada yang kurang dari kemenangan Westinghouse sang pengusaha, yaitu sensasi yang dialami seorang penemu ketika berhasil menemukan sesuatu. Westinghouse bertanya kepada Edison, “I only wondered what it felt like.” Ia melanjutkan, “The bulb. When you knew. What was the feeling in that moment?

Meski sang sutradara berusaha menarik film ini menjadi film tentang penemuan dan kegeniusan, film ini tetaplah film tentang persaingan bisnis, karena fakta yang menjadi dasarnya pun memang demikian. Apa yang dapat kita terima dari film ini, yang disebut dengan Perang Arus tahun 1880-an hingga 90-an di Amerika itu sebenarnya adalah perang bisnis antara perusahaan listrik. Mungkin seperti persaingan bisnis yang lebih dekat waktunya dengan kita, antara Apple dan Microsoft untuk menguasai pasar personal computer (PC). Daripada The Current War, mungkin lebih tepat tetapi juga lebih tidak menarik, jika film ini diberi judul The Electricity Companies War.

Selasa, 10 Agustus 2021

Impresi Van Gogh

Tentang Film At Eternity’s Gate

Siapa yang tak kenal Vincent van Gogh, pelukis besar Belanda yang karya-karyanya ada di daftar lukisan termahal. Kisah hidupnya menjadi menarik karena kontras dengan penghargaan yang diperoleh setelah kematiannya itu. Hidup singkat, penuh kesulitan, ditambah pula pergulatan dengan gangguan mental. Jangankan sukses dan memiliki banyak penggemar, van Gogh semasa hidupnya disalahpahami oleh masyarakat, dan hanya mampu menjual satu atau dua lukisan. Karena menarik, sudah banyak film yang mengangkat kisah hidup van Gogh.

At Eternity’s Gate (2018) karya Julian Schnabel, sutradara dan salah satu penulis naskah, adalah sebuah film biografi impresionistik. Film ini bukan suatu usaha serius untuk memahami van Gogh atau seninya. Film ini lebih sebagai suatu cara untuk menikmati keindahan yang menawan sang seniman, juga bagaimana rasanya menjadi sang seniman yang diliputi dan terobsesi dengan kebutuhan tak terhindarkan untuk menyampaikan keindahan itu pada dunia. Menyaksikan film ini, kita tenggelam dalam dunia van Gogh, bersama sang seniman mengalami dan melukisnya. Tentang melukis, meski tidak berfokus pada teknik van Gogh, film ini menampilkan caranya melukis. Seperti cara van Gogh menggunakan sapuan tegas untuk memperkuat garis objek saat cat masih basah. Van Gogh melukis dengan cepat, dan ketergesaan ini merupakan bagian integral dari estetika dan pendekatannya. Schnabel sendiri memang seorang pelukis. Sehingga dapat dikatakan, At Eternity’s Gate adalah penghargaan dari seorang pelukis ke pelukis lainnya.

Van Gogh di film ini diperankan oleh Willem Dafoe. Aktor yang seperempat abad lebih tua dari van Gogh pada saat kematiannya. Dafoe berusia 63 tahun pada saat memerankan van Gogh, sedangkan van Gogh meninggal pada usia 37 tahun. Hal ini tidak menjadi pilihan yang ganjil karena, setidaknya berdasarkan lukisan potret dirinya, van Gogh memang tampak lebih tua dari usianya. Van Gogh yang diperankan Dafoe itu tampak sakit-sakitan, kurus, dan pucat. Penampilan seorang pria yang disiksa oleh kehidupan yang serba kekurangan dan kesakitan. Sedangkan matanya lebar, jeli, bersemangat, namun cemas. Karena dengan matanya, van Gogh melihat dunia yang keindahannya mengilhami lukisannya. Tatapannya yang gigih ini juga menunjukkan suatu dorongan untuk terus hidup meskipun kesulitan tak henti-henti menimpanya.

Kelemahan besar film ini adalah, Schnabel memilih untuk menggambarkan kematian van Gogh sebagai penembakan yang tidak disengaja oleh sekelompok anak muda, suatu pendapat alternatif. Pendapat ini, menurut Greg Cwik, ada di buku Van Gogh: The Life (2011) karya Steven Naifeh dan Gregory White Smith. Pendapat umum mengenai hal ini adalah, kematian van Gogh dikarenakan upaya bunuh diri. Bentuk film biografi impresionistik yang dipilih Schnabel tidak tepat untuk mengajukan suatu pendapat alternatif, yang membutuhkan narasi kuat. Dengan bentuk yang dipilihnya itu, lebih bagus jika Schnabel menampilkan peristiwanya secara impresionistik. Van Gogh ditemukan berdarah di ladang, dibawa kembali ke kamarnya, dan meninggal beberapa hari kemudian. Kesan atas peristiwa itu, serahkan saja ke penonton.

Minggu, 19 Juli 2020

Sosialisme Indonesia (Bagian 2)


Sebelumnya telah disampaikan, masyarakat Indonesia memiliki akar kolektivisme, yang ada dalam kehidupan dan hukum adat masyarakat desa. Di samping itu, masyarakat Indonesia sedang mengalami proses individualisasi, yang dibawa oleh ekonomi modern. Individualisasi ini menuju ke individualisme serta kapitalisme, sistem politik ekonomi yang lahir dari individualisme.

Hatta melihat, jika sampai ke kapitalisme, akan berbahaya bagi bangsa Indonesia, karena kapitalisme nasional akan disaingi dan dihancurkan oleh kapitalisme asing yang sangat kuat dan berkuasa. Kemudian, kapitalis asing akan mengambil dari kapitalis nasional, apa yang dapat digunakannya untuk mencengkeram masyarakat Indonesia.

Karena memiliki akar kolektivisme, masyarakat Indonesia tidak harus sampai di kapitalisme, dan individualisasi yang sedang berjalan dapat dibelokkan ke sosialisme Indonesia. Sosialisme Indonesia adalah suatu kolektivisme baru, yang berakar pada kolektivisme lama, sekaligus lebih tinggi, lebih modern, dan lebih efektif dari individualisme. Individualisasi yang sedang berjalan itu dibelokkan ke sosialisme Indonesia melalui organisasi dan pendidikan sosial, yang berdasarkan “... usaha-bersama untuk membela kepentingan bersama, berdasarkan self-help, tolong diri-sendiri.”

Hatta menamakan organisasi itu ‘kooperasi ekonomi’, yang ia bedakan dengan kolektivisme lama masyarakat Indonesia yang disebutnya ‘kooperasi sosial’. ‘Kooperasi ekonomi’ adalah sintesis dari ‘kooperasi sosial’ dan individualisme yang sedang berkembang, karena mencakup dan mengangkat kedua hal tersebut. Dalam kata-kata Hatta sendiri, “Diatas dasar kooperasi sosial jang lama dibangun kooperasi ekonomi, dimana ada kebebasan bagi individu untuk mengambil inisiatif atas persetudjuan bersama bagi keperluan bersama.” Hatta menegaskan, “Kooperasi sematjam ini menghidupkan djiwa kolektif jang dinamis, sedangkan kepribadian manusia tidak tertindas.”

Hatta membayangkan, sosialisme Indonesia itu “... bersendikan bangunan-bangunan kooperasi, jang akan meliputi seluruh bidang ekonomi : konsumsi, produksi, distribusi dan kredit.” Dalam sosialisme, negara sebagai organisasi penguasa akan lenyap, berganti menjadi organisasi pengurus masyarakat, membagikan barang-barang yang dihasilkan bersama kepada orang banyak. Karenanya, Indonesia menjadi “... suatu persemakmuran kooperasi, dalam perhubungan kerdja-sama dengan menjingkirkan segala persaingan”, yang di dalamnya “Tiap-tiap organisasi masjarakat, besar dan ketjil, dapat berbentuk kooperasi…”

Secara realistis, Hatta berharap, “... sekurang-kurangnja tjita-tjita ini dapat dilaksanakan pada pemerintahan rakjat jang terbawah. Pemerintah desa sebadan dengan pengurus kooperasi desa. Desa dan kooperasi mendjadi identik.”

Pada Bagian 1 telah disebutkan, kondisi yang khas dari Indonesia dan negara-negara jajahan lainnya adalah adanya kapitalisme kolonial. Di negara jajahan, kapitalisme kolonial adalah kekuatan penentang yang sangat besar terhadap lawan-lawannya. Hatta menganalisis, adanya kapitalisme kolonial di Indonesia justru mempermudah jalan menuju sosialisme. Penjelasannya sebagai berikut. Kapitalisme kolonial dengan kekuatannya yang sangat besar tidak memberi kesempatan pada kapitalisme Indonesia yang masih muda. Dengan tidak memberi kesempatan untuk berkembang, kapitalisme kolonial - sebagai efeknya - membuka jalan untuk lawan dari kapitalisme Indonesia, yaitu kooperasi Indonesia. Pada gilirannya, kooperasi Indonesia berkembang dan menjadi sendi dari sosialisme Indonesia.

Cita-cita sosialisme Indonesia adalah, “... terlaksananja pergaulan hidup di Indonesia, dimana tak ada penindasan dan penghisapan dan terdjaminnja bagi rakjat, bagi tiap-tiap orang, kemakmuran dan kepastian penghidupan serta perkembangan keperibadiannja.”

Menurut Hatta, cita-cita sosialisme Indonesia senantiasa menyala dalam dada orang Indonesia. Pada masa penjajahan, cita-cita itu menyala dalam perjuangan orang Indonesia melawan kolonialisme dan fasisme. Pada masa kemerdekaan, cita-cita itu hidup dalam Undang-Undang Dasar 1945. Persisnya, sosialisme Indonesia itu ada di:

Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
        banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
        dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 27
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
        kemanusiaan.

Pasal 34
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Pasal-pasal tersebut adalah pegangan untuk merealisasikan cita-cita sosialisme Indonesia. Hatta yakin, “Apabila didjalankan sungguh-sungguh, tudjuan sosialisme jang terdekat akan tertjapai, jaitu rakjat Indonesia terlepas dari kesengsaraan hidup dan tiap-tiap orang terdjamin penghidupannja.”

Penjelasan pasal-pasal di atas sebagai sosialisme Indonesia adalah sebagai berikut. Pasal 33. Yang dimaksud dengan “usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” adalah kooperasi, seperti yang dipahami dalam sosialisme Indonesia. Pekerjaan membangun ekonomi masyarakat itu dibagi antara kooperasi dan negara. Kooperasi membangun dari bawah, sebagai kerja sama orang banyak untuk menyusun dasar-dasar kemakmuran rakyat. Negara melakukan pekerjaan-pekerjaan besar.

“Dikuasai oleh negara” itu tidak berarti pemerintah menjadi pengusaha, melainkan pemerintah menetapkan politik perekonomian. Pekerjaannya sendiri diserahkan kepada badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab kepada pemerintah, dan kerjanya dikontrol oleh negara. Pada masa menuju sosialisme, badan-badan itu bisa perusahaan-perusahaan negara yang berbentuk badan usaha, bisa pula perusahaan-perusahaan swasta yang berbentuk perseroan terbatas. Siapa yang lebih tepat mengerjakan, bergantung pada tenaga yang ada dan struktur masyarakat yang sedang berkembang, karena sosialisme sendiri menghendaki pekerjaan yang efisien, yang tepat menurut tujuannya.

Pasal 27 Ayat 2. “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” itu artinya negara harus mempunyai rencana yang teratur untuk memenuhi tuntutan yang asasi ini.

Pasal 34. “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” adalah pelaksanaan keadilan sosial, karena di dalam sosialisme yang dicita-citakan tidak ada lagi kemiskinan.

Telah disampaikan sosialisme Indonesia menurut Hatta. Secara tertulis, sosialisme adalah cita-cita bangsa Indonesia, menjadi sila dalam Pancasila, dan dituangkan dalam pasal-pasal UUD 1945. Mempelajari pemikiran Hatta, mengangkat berbagai pertanyaan dari kenyataan yang ada. Seberapa jauh kita sebagai bangsa sudah berjalan menuju cita-cita sosialisme Indonesia? Apakah perjalanan yang kita tempuh mendekatkan kita padanya, atau malah menjauhkan kita darinya? Apakah sosialisme masih menjadi cita-cita bersama kita sebagai bangsa? Apakah kita dalam berusaha menjalin kerja sama dan menyingkirkan persaingan untuk kemakmuran bersama? Ataukah kita dalam berusaha hanya memanfaatkan yang lain untuk keberhasilan sendiri? Apakah sosialisme Indonesia kini tinggal menjadi angan dari seseorang yang telah lama meninggalkan kita, meski orang itu adalah pendiri bangsa, proklamator, dan pemikir ekonomi?

Pustaka
Hatta, Mohammad. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1963.

Tulisan ini dimuat juga di website sekolahpancasila.com

Sosialisme Indonesia (Bagian 1)


Sila Kelima Pancasila berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Itu artinya kita, sebagai bangsa, menganut suatu sosialisme. Namun, sosialisme yang seperti apa? Sosialisme sendiri ada banyak macamnya. Ada sosialisme utopis, sosialisme realis, sosialisme etis, dan sosialisme ilmiah Karl Marx. Sebagai cabang besar sosialisme, ajaran Marx sepeninggalnya terbagi lagi menjadi: Marxisme revisionis, Marxisme dogmatis, dan Marxisme Leninisme. Persamaan dari beragam sosialisme itu adalah, mencita-citakan masyarakat tanpa penindasan dan penghisapan, serta jaminan penghidupan, aktualisasi diri, dan kemakmuran untuk setiap orang.

Mohammad Hatta (1902-1980), yang bersama Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, adalah salah satu tokoh yang memikirkan sosialisme Indonesia. Dalam Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (1963). Hatta memaparkan pemikirannya itu. Dalam buku tersebut, ada tiga hal yang dipaparkan oleh Hatta. Pertama, sosialisme. Hatta membahas macam-macam sosialisme sebagai suatu perkembangan, dari sosialisme utopis sampai sosialisme pasca-Marx. Banyak porsi pembahasannya digunakan untuk menjelaskan tentang sosialisme Marx. Suatu hal yang wajar, menimbang pemikiran Marx adalah cabang besar sosialisme. Kedua, sosialisme Indonesia. Bertolak dari pembahasannya tentang perkembangan sosialisme, Hatta mengajukan pemikirannya tentang sosialisme Indonesia, sosialisme yang sudah berakar dan dapat tumbuh serta berkembang di Indonesia. Ketiga, persoalan ekonomi sosialis Indonesia. Hatta menyampaikan persoalan-persoalan ekonomi pokok yang mesti dihadapi sosialisme Indonesia untuk mencapai cita-citanya.

Tulisan ini hendak menyampaikan pemikiran Hatta tentang sosialisme Indonesia. Untuk mencapai maksudnya, tulisan ini dibagi menjadi dua bagian. Sebagai latar, Bagian 1 akan menyampaikan ragam sosialisme yang sampai ke Indonesia menurut Hatta. Sebagai dasar, Bagian 1 selanjutnya akan menyampaikan sumber sosialisme dalam masyarakat Indonesia sendiri juga menurut Hatta. Setelah latar dan dasarnya disampaikan, barulah pada Bagian 2 akan disampaikan pemikiran Hatta tentang sosialisme Indonesia.

Mari kita mulai dengan ragam sosialisme yang sampai ke Indonesia. Di Indonesia, sosialisme itu lahir dari pergerakan kebangsaan. Hatta mengatakan, “Dalam pergerakan jang menudju kebebasan dari penghinaan diri dan pendjadjahan, dengan sendirinja orang terpikat oleh tuntutan sosial dan humanisme - peri-kemanusiaan - jang disebarkan oleh pergerakan sosialisme di benua Barat.” Untuk Hatta, sosialisme itu pertama-tama dicita-citakan. Tidak perlu oleh masyarakat banyak, suatu kelas, tetapi cukup oleh sekelompok kecil orang. Lantas, kelompok kecil itu mau memperjuangkan cita-cita sosialisme, mau menjadi pelopor dalam masyarakat.

Menurut Hatta, ragam sosialisme yang sampai ke Indonesia adalah sosialisme demokratis, yang merupakan revisi atas ajaran-ajaran Marx. Sosialisme demokratis sampai ke Indonesia melalui orang-orang sosialis Belanda dan buku-buku propagandanya. Sosialisme demokratis adalah sosialisme yang percaya pada demokrasi, dan mengutamakan perjuangan di dalam parlemen. Di samping sosialisme demokratis, ada pula ragam lain sosialisme yang masuk ke Indonesia, yaitu komunisme. Namun Hatta mengatakan, penganut komunisme di Indonesia itu terbatas.

Di Indonesia, sosialisme yang datang dari Barat itu bertemu dan ternyata sesuai dengan Islam, agama mayoritas bangsa Indonesia. Beberapa ajaran Islam yang searah dengan sosialisme adalah sebagai berikut. Pertama, Islam mengajarkan persaudaraan umat manusia. Manusia diajarkan untuk saling menyayangi, dan saling menolong, dalam suasana persaudaraan. Kedua, Islam melarang segala praktik yang menurunkan derajat manusia, termasuk penghisapan dan penindasan. Hal ini membuat Islam melawan kapitalisme, yang menghisap dan menindas manusia. Ketiga, Islam mengajarkan dunia ini milik Allah, manusia hanya mendiaminya untuk sementara, dan berkewajiban memelihara serta meninggalkannya dalam keadaan yang lebih baik untuk generasi yang akan datang. Hal ini searah dengan sosialisme yang mengajarkan, dunia ini bukan milik seseorang atau sekelompok orang.

Meski menganut sosialisme, sebagian pemimpin Indonesia tidak dapat menerima ajaran Marx, yaitu materialisme historis, sebagai pandangan hidup. Mereka hanya menerima materialisme historis sebatas teori ilmiah, yang kebenarannya hanya berlaku jika kondisi-kondisi yang menjadi syaratnya dipenuhi. Oleh mereka, teori Marx digunakan untuk mempelajari perkembangan masyarakat di atas pengaruh fakta-fakta ekonomi. Kondisi yang khas dari Indonesia dan negara-negara jajahan lainnya, tetapi tidak dibicarakan oleh Marx adalah, kapitalisme kolonial. Di negara jajahan, kapitalisme kolonial adalah kekuatan penentang yang sangat besar terhadap perjuangan kelas. Hal ini membuat, perubahan kapitalisme menjadi sosialisme - seperti yang dibicarakan Marx - tidak terjadi.

Karena tidak dapat menerima Marxisme sebagai pandangan hidup, para pemimpin Indonesia mencari sumber sosialisme dalam masyarakat Indonesia sendiri. Mereka menemukannya dalam ‘masyarakat desa yang kolektif’.

Dasar dari kolektivisme masyarakat desa adalah ‘kepemilikan tanahnya’. Dalam masyarakat desa, tanah bukan milik perorangan, melainkan kepunyaan desa. Perorangan itu hanya mempunyai hak pakai. Dengan hak pakai, perorangan dapat menggunakan tanah yang masih kosong, sebanyak yang dapat dikerjakannya, untuk keperluan hidupnya sekeluarga. Tanah itu dapat dipakai selamanya, secara turun-temurun. Namun dengan hak pakai, perorangan tidak boleh menjual tanah itu, karena bukan miliknya. Jika ia berhenti mengerjakannya, tanah itu kembali ke desa, dan desa dapat menyerahkannya kepada orang lain yang ingin mengerjakannya.

Kepemilikan bersama atas tanah itu, kemudian membentuk semangat kolektif masyarakat desa. Tanah adalah alat produksi utama dalam masyarakat desa yang agraris, dan alat itu dimiliki bersama, maka perorangan dalam menggunakan tenaga ekonominya selalu merasa terikat kepada persetujuan masyarakat sedesa.

Semangat kolektif itu selanjutnya menerangi semua aspek kehidupan masyarakat desa. Semua pekerjaan yang berat, yang tidak dapat ditanggung oleh perorangan, dilakukan bersama-sama secara gotong royong. Hal ini tidak hanya berlaku untuk pekerjaan yang berhubungan dengan kepentingan umum, tetapi berlaku juga untuk pekerjaan yang berhubungan dengan kepentingan privat. Semangat kolektif masyarakat desa tidak berhenti sampai ‘berat sama dipikul, ringan sama dijinjing’, lebih dari itu ‘sedih sama diderita, gembira sama dirasa’. Salah satu manifestasi dari semangat kolektif itu adalah tradisi ‘selamatan’ yang sering diadakan dengan berganti tempat. Hatta yakin kerjasama sosial ini dapat menjadi landasan untuk kooperasi ekonomi sosialisme Indonesia, “Maka dengan semangat tolong-menolong itu tertanamlah didalam masjarakat desa jang asli dasar kooperasi sosial, jang dapat didjadikan landasan untuk membangun kooperasi ekonomi, sebagai sendi perekonomian masjarakat”.

Lantas, bagaimana posisi individu di dalam masyarakat yang komunal seperti itu. Untuk menjawab persoalan ini, Hatta menengok ‘hukum adat’. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat komunal, yang tidak mengenal pemisahan hukum publik dan hukum privat secara tegas. Sifat komunal itu membuat ‘hukum adat’ harus dipahami, tidak dari sisi hak individu, melainkan dari sisi kepentingan bersama di atas hak individu.

Dalam hukum seperti itu, yang utama adalah masyarakat, bukan perorangan. Perorangan dipandang sebagai anggota masyarakat. Di satu sisi, perorangan adalah alat untuk melaksanakan tujuan masyarakat. Tujuan hidup perorangan adalah berkarya untuk masyarakat. Di sisi lain, perorangan adalah juga pemangku hak. Hak yang dipangku perorangan adalah hak masyarakat, berupa kekuasaan yang memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Perorangan diharapkan menggunakan kekuasaan itu sesuai dengan tujuan sosial hukum adat.

Dilihat dari hak individu semata, hal ini tampak sebagai pengsubordinasian individu dari masyarakat. Namun dalam masyarakat komunal, perorangan diliputi kesadaran untuk bersekutu, dan perasaan seiya sekata dengan masyarakat. Sehingga, perorangan menyadari tugas-tugas kemasyarakatan bukan sebagai beban yang ditimpakan kepadanya, melainkan sebagai jabatan yang biasa dan sepatutnya dalam kehidupan.

Meski mengutamakan komunalisme, Hatta melihat individualisasi sebagai proses yang niscaya. Individualisasi adalah akibat dari ekonomi modern. Yang ditakutkannya adalah, proses individualisasi itu menuju individualisme, yang membendakan segala hubungan manusia. Namun Hatta optimis, proses individualisasi tidak akan melenyapkan sifat kolektif masyarakat Indonesia dengan hukum adatnya. Optimisme itu berdasarkan pada pengamatan Holleman dan Soepomo yang melihat, bahkan di desa paling maju, cita-cita kolektif hidup terus.

Hatta juga melihat, perubahan masyarakat, akan menimbulkan adat-adat baru, dan pada gilirannya akan mengubah pula hukum adatnya. Namun sekali lagi Hatta optimis, meski hukum adatnya berubah, kolektivisme akan tetap hidup dalam masyarakat Indonesia.

Bagian berikutnya akan menyampaikan sosialisme Indonesia menurut Hatta. Nantikan. Salam Pancasila!

Pustaka
Hatta, Mohammad. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1963.

Tulisan ini dimuat juga di website sekolahpancasila.com