Minggu, 19 Juli 2020

Sosialisme Indonesia (Bagian 2)


Sebelumnya telah disampaikan, masyarakat Indonesia memiliki akar kolektivisme, yang ada dalam kehidupan dan hukum adat masyarakat desa. Di samping itu, masyarakat Indonesia sedang mengalami proses individualisasi, yang dibawa oleh ekonomi modern. Individualisasi ini menuju ke individualisme serta kapitalisme, sistem politik ekonomi yang lahir dari individualisme.

Hatta melihat, jika sampai ke kapitalisme, akan berbahaya bagi bangsa Indonesia, karena kapitalisme nasional akan disaingi dan dihancurkan oleh kapitalisme asing yang sangat kuat dan berkuasa. Kemudian, kapitalis asing akan mengambil dari kapitalis nasional, apa yang dapat digunakannya untuk mencengkeram masyarakat Indonesia.

Karena memiliki akar kolektivisme, masyarakat Indonesia tidak harus sampai di kapitalisme, dan individualisasi yang sedang berjalan dapat dibelokkan ke sosialisme Indonesia. Sosialisme Indonesia adalah suatu kolektivisme baru, yang berakar pada kolektivisme lama, sekaligus lebih tinggi, lebih modern, dan lebih efektif dari individualisme. Individualisasi yang sedang berjalan itu dibelokkan ke sosialisme Indonesia melalui organisasi dan pendidikan sosial, yang berdasarkan “... usaha-bersama untuk membela kepentingan bersama, berdasarkan self-help, tolong diri-sendiri.”

Hatta menamakan organisasi itu ‘kooperasi ekonomi’, yang ia bedakan dengan kolektivisme lama masyarakat Indonesia yang disebutnya ‘kooperasi sosial’. ‘Kooperasi ekonomi’ adalah sintesis dari ‘kooperasi sosial’ dan individualisme yang sedang berkembang, karena mencakup dan mengangkat kedua hal tersebut. Dalam kata-kata Hatta sendiri, “Diatas dasar kooperasi sosial jang lama dibangun kooperasi ekonomi, dimana ada kebebasan bagi individu untuk mengambil inisiatif atas persetudjuan bersama bagi keperluan bersama.” Hatta menegaskan, “Kooperasi sematjam ini menghidupkan djiwa kolektif jang dinamis, sedangkan kepribadian manusia tidak tertindas.”

Hatta membayangkan, sosialisme Indonesia itu “... bersendikan bangunan-bangunan kooperasi, jang akan meliputi seluruh bidang ekonomi : konsumsi, produksi, distribusi dan kredit.” Dalam sosialisme, negara sebagai organisasi penguasa akan lenyap, berganti menjadi organisasi pengurus masyarakat, membagikan barang-barang yang dihasilkan bersama kepada orang banyak. Karenanya, Indonesia menjadi “... suatu persemakmuran kooperasi, dalam perhubungan kerdja-sama dengan menjingkirkan segala persaingan”, yang di dalamnya “Tiap-tiap organisasi masjarakat, besar dan ketjil, dapat berbentuk kooperasi…”

Secara realistis, Hatta berharap, “... sekurang-kurangnja tjita-tjita ini dapat dilaksanakan pada pemerintahan rakjat jang terbawah. Pemerintah desa sebadan dengan pengurus kooperasi desa. Desa dan kooperasi mendjadi identik.”

Pada Bagian 1 telah disebutkan, kondisi yang khas dari Indonesia dan negara-negara jajahan lainnya adalah adanya kapitalisme kolonial. Di negara jajahan, kapitalisme kolonial adalah kekuatan penentang yang sangat besar terhadap lawan-lawannya. Hatta menganalisis, adanya kapitalisme kolonial di Indonesia justru mempermudah jalan menuju sosialisme. Penjelasannya sebagai berikut. Kapitalisme kolonial dengan kekuatannya yang sangat besar tidak memberi kesempatan pada kapitalisme Indonesia yang masih muda. Dengan tidak memberi kesempatan untuk berkembang, kapitalisme kolonial - sebagai efeknya - membuka jalan untuk lawan dari kapitalisme Indonesia, yaitu kooperasi Indonesia. Pada gilirannya, kooperasi Indonesia berkembang dan menjadi sendi dari sosialisme Indonesia.

Cita-cita sosialisme Indonesia adalah, “... terlaksananja pergaulan hidup di Indonesia, dimana tak ada penindasan dan penghisapan dan terdjaminnja bagi rakjat, bagi tiap-tiap orang, kemakmuran dan kepastian penghidupan serta perkembangan keperibadiannja.”

Menurut Hatta, cita-cita sosialisme Indonesia senantiasa menyala dalam dada orang Indonesia. Pada masa penjajahan, cita-cita itu menyala dalam perjuangan orang Indonesia melawan kolonialisme dan fasisme. Pada masa kemerdekaan, cita-cita itu hidup dalam Undang-Undang Dasar 1945. Persisnya, sosialisme Indonesia itu ada di:

Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
        banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
        dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 27
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
        kemanusiaan.

Pasal 34
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Pasal-pasal tersebut adalah pegangan untuk merealisasikan cita-cita sosialisme Indonesia. Hatta yakin, “Apabila didjalankan sungguh-sungguh, tudjuan sosialisme jang terdekat akan tertjapai, jaitu rakjat Indonesia terlepas dari kesengsaraan hidup dan tiap-tiap orang terdjamin penghidupannja.”

Penjelasan pasal-pasal di atas sebagai sosialisme Indonesia adalah sebagai berikut. Pasal 33. Yang dimaksud dengan “usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” adalah kooperasi, seperti yang dipahami dalam sosialisme Indonesia. Pekerjaan membangun ekonomi masyarakat itu dibagi antara kooperasi dan negara. Kooperasi membangun dari bawah, sebagai kerja sama orang banyak untuk menyusun dasar-dasar kemakmuran rakyat. Negara melakukan pekerjaan-pekerjaan besar.

“Dikuasai oleh negara” itu tidak berarti pemerintah menjadi pengusaha, melainkan pemerintah menetapkan politik perekonomian. Pekerjaannya sendiri diserahkan kepada badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab kepada pemerintah, dan kerjanya dikontrol oleh negara. Pada masa menuju sosialisme, badan-badan itu bisa perusahaan-perusahaan negara yang berbentuk badan usaha, bisa pula perusahaan-perusahaan swasta yang berbentuk perseroan terbatas. Siapa yang lebih tepat mengerjakan, bergantung pada tenaga yang ada dan struktur masyarakat yang sedang berkembang, karena sosialisme sendiri menghendaki pekerjaan yang efisien, yang tepat menurut tujuannya.

Pasal 27 Ayat 2. “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” itu artinya negara harus mempunyai rencana yang teratur untuk memenuhi tuntutan yang asasi ini.

Pasal 34. “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” adalah pelaksanaan keadilan sosial, karena di dalam sosialisme yang dicita-citakan tidak ada lagi kemiskinan.

Telah disampaikan sosialisme Indonesia menurut Hatta. Secara tertulis, sosialisme adalah cita-cita bangsa Indonesia, menjadi sila dalam Pancasila, dan dituangkan dalam pasal-pasal UUD 1945. Mempelajari pemikiran Hatta, mengangkat berbagai pertanyaan dari kenyataan yang ada. Seberapa jauh kita sebagai bangsa sudah berjalan menuju cita-cita sosialisme Indonesia? Apakah perjalanan yang kita tempuh mendekatkan kita padanya, atau malah menjauhkan kita darinya? Apakah sosialisme masih menjadi cita-cita bersama kita sebagai bangsa? Apakah kita dalam berusaha menjalin kerja sama dan menyingkirkan persaingan untuk kemakmuran bersama? Ataukah kita dalam berusaha hanya memanfaatkan yang lain untuk keberhasilan sendiri? Apakah sosialisme Indonesia kini tinggal menjadi angan dari seseorang yang telah lama meninggalkan kita, meski orang itu adalah pendiri bangsa, proklamator, dan pemikir ekonomi?

Pustaka
Hatta, Mohammad. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1963.

Tulisan ini dimuat juga di website sekolahpancasila.com

Sosialisme Indonesia (Bagian 1)


Sila Kelima Pancasila berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Itu artinya kita, sebagai bangsa, menganut suatu sosialisme. Namun, sosialisme yang seperti apa? Sosialisme sendiri ada banyak macamnya. Ada sosialisme utopis, sosialisme realis, sosialisme etis, dan sosialisme ilmiah Karl Marx. Sebagai cabang besar sosialisme, ajaran Marx sepeninggalnya terbagi lagi menjadi: Marxisme revisionis, Marxisme dogmatis, dan Marxisme Leninisme. Persamaan dari beragam sosialisme itu adalah, mencita-citakan masyarakat tanpa penindasan dan penghisapan, serta jaminan penghidupan, aktualisasi diri, dan kemakmuran untuk setiap orang.

Mohammad Hatta (1902-1980), yang bersama Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, adalah salah satu tokoh yang memikirkan sosialisme Indonesia. Dalam Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (1963). Hatta memaparkan pemikirannya itu. Dalam buku tersebut, ada tiga hal yang dipaparkan oleh Hatta. Pertama, sosialisme. Hatta membahas macam-macam sosialisme sebagai suatu perkembangan, dari sosialisme utopis sampai sosialisme pasca-Marx. Banyak porsi pembahasannya digunakan untuk menjelaskan tentang sosialisme Marx. Suatu hal yang wajar, menimbang pemikiran Marx adalah cabang besar sosialisme. Kedua, sosialisme Indonesia. Bertolak dari pembahasannya tentang perkembangan sosialisme, Hatta mengajukan pemikirannya tentang sosialisme Indonesia, sosialisme yang sudah berakar dan dapat tumbuh serta berkembang di Indonesia. Ketiga, persoalan ekonomi sosialis Indonesia. Hatta menyampaikan persoalan-persoalan ekonomi pokok yang mesti dihadapi sosialisme Indonesia untuk mencapai cita-citanya.

Tulisan ini hendak menyampaikan pemikiran Hatta tentang sosialisme Indonesia. Untuk mencapai maksudnya, tulisan ini dibagi menjadi dua bagian. Sebagai latar, Bagian 1 akan menyampaikan ragam sosialisme yang sampai ke Indonesia menurut Hatta. Sebagai dasar, Bagian 1 selanjutnya akan menyampaikan sumber sosialisme dalam masyarakat Indonesia sendiri juga menurut Hatta. Setelah latar dan dasarnya disampaikan, barulah pada Bagian 2 akan disampaikan pemikiran Hatta tentang sosialisme Indonesia.

Mari kita mulai dengan ragam sosialisme yang sampai ke Indonesia. Di Indonesia, sosialisme itu lahir dari pergerakan kebangsaan. Hatta mengatakan, “Dalam pergerakan jang menudju kebebasan dari penghinaan diri dan pendjadjahan, dengan sendirinja orang terpikat oleh tuntutan sosial dan humanisme - peri-kemanusiaan - jang disebarkan oleh pergerakan sosialisme di benua Barat.” Untuk Hatta, sosialisme itu pertama-tama dicita-citakan. Tidak perlu oleh masyarakat banyak, suatu kelas, tetapi cukup oleh sekelompok kecil orang. Lantas, kelompok kecil itu mau memperjuangkan cita-cita sosialisme, mau menjadi pelopor dalam masyarakat.

Menurut Hatta, ragam sosialisme yang sampai ke Indonesia adalah sosialisme demokratis, yang merupakan revisi atas ajaran-ajaran Marx. Sosialisme demokratis sampai ke Indonesia melalui orang-orang sosialis Belanda dan buku-buku propagandanya. Sosialisme demokratis adalah sosialisme yang percaya pada demokrasi, dan mengutamakan perjuangan di dalam parlemen. Di samping sosialisme demokratis, ada pula ragam lain sosialisme yang masuk ke Indonesia, yaitu komunisme. Namun Hatta mengatakan, penganut komunisme di Indonesia itu terbatas.

Di Indonesia, sosialisme yang datang dari Barat itu bertemu dan ternyata sesuai dengan Islam, agama mayoritas bangsa Indonesia. Beberapa ajaran Islam yang searah dengan sosialisme adalah sebagai berikut. Pertama, Islam mengajarkan persaudaraan umat manusia. Manusia diajarkan untuk saling menyayangi, dan saling menolong, dalam suasana persaudaraan. Kedua, Islam melarang segala praktik yang menurunkan derajat manusia, termasuk penghisapan dan penindasan. Hal ini membuat Islam melawan kapitalisme, yang menghisap dan menindas manusia. Ketiga, Islam mengajarkan dunia ini milik Allah, manusia hanya mendiaminya untuk sementara, dan berkewajiban memelihara serta meninggalkannya dalam keadaan yang lebih baik untuk generasi yang akan datang. Hal ini searah dengan sosialisme yang mengajarkan, dunia ini bukan milik seseorang atau sekelompok orang.

Meski menganut sosialisme, sebagian pemimpin Indonesia tidak dapat menerima ajaran Marx, yaitu materialisme historis, sebagai pandangan hidup. Mereka hanya menerima materialisme historis sebatas teori ilmiah, yang kebenarannya hanya berlaku jika kondisi-kondisi yang menjadi syaratnya dipenuhi. Oleh mereka, teori Marx digunakan untuk mempelajari perkembangan masyarakat di atas pengaruh fakta-fakta ekonomi. Kondisi yang khas dari Indonesia dan negara-negara jajahan lainnya, tetapi tidak dibicarakan oleh Marx adalah, kapitalisme kolonial. Di negara jajahan, kapitalisme kolonial adalah kekuatan penentang yang sangat besar terhadap perjuangan kelas. Hal ini membuat, perubahan kapitalisme menjadi sosialisme - seperti yang dibicarakan Marx - tidak terjadi.

Karena tidak dapat menerima Marxisme sebagai pandangan hidup, para pemimpin Indonesia mencari sumber sosialisme dalam masyarakat Indonesia sendiri. Mereka menemukannya dalam ‘masyarakat desa yang kolektif’.

Dasar dari kolektivisme masyarakat desa adalah ‘kepemilikan tanahnya’. Dalam masyarakat desa, tanah bukan milik perorangan, melainkan kepunyaan desa. Perorangan itu hanya mempunyai hak pakai. Dengan hak pakai, perorangan dapat menggunakan tanah yang masih kosong, sebanyak yang dapat dikerjakannya, untuk keperluan hidupnya sekeluarga. Tanah itu dapat dipakai selamanya, secara turun-temurun. Namun dengan hak pakai, perorangan tidak boleh menjual tanah itu, karena bukan miliknya. Jika ia berhenti mengerjakannya, tanah itu kembali ke desa, dan desa dapat menyerahkannya kepada orang lain yang ingin mengerjakannya.

Kepemilikan bersama atas tanah itu, kemudian membentuk semangat kolektif masyarakat desa. Tanah adalah alat produksi utama dalam masyarakat desa yang agraris, dan alat itu dimiliki bersama, maka perorangan dalam menggunakan tenaga ekonominya selalu merasa terikat kepada persetujuan masyarakat sedesa.

Semangat kolektif itu selanjutnya menerangi semua aspek kehidupan masyarakat desa. Semua pekerjaan yang berat, yang tidak dapat ditanggung oleh perorangan, dilakukan bersama-sama secara gotong royong. Hal ini tidak hanya berlaku untuk pekerjaan yang berhubungan dengan kepentingan umum, tetapi berlaku juga untuk pekerjaan yang berhubungan dengan kepentingan privat. Semangat kolektif masyarakat desa tidak berhenti sampai ‘berat sama dipikul, ringan sama dijinjing’, lebih dari itu ‘sedih sama diderita, gembira sama dirasa’. Salah satu manifestasi dari semangat kolektif itu adalah tradisi ‘selamatan’ yang sering diadakan dengan berganti tempat. Hatta yakin kerjasama sosial ini dapat menjadi landasan untuk kooperasi ekonomi sosialisme Indonesia, “Maka dengan semangat tolong-menolong itu tertanamlah didalam masjarakat desa jang asli dasar kooperasi sosial, jang dapat didjadikan landasan untuk membangun kooperasi ekonomi, sebagai sendi perekonomian masjarakat”.

Lantas, bagaimana posisi individu di dalam masyarakat yang komunal seperti itu. Untuk menjawab persoalan ini, Hatta menengok ‘hukum adat’. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat komunal, yang tidak mengenal pemisahan hukum publik dan hukum privat secara tegas. Sifat komunal itu membuat ‘hukum adat’ harus dipahami, tidak dari sisi hak individu, melainkan dari sisi kepentingan bersama di atas hak individu.

Dalam hukum seperti itu, yang utama adalah masyarakat, bukan perorangan. Perorangan dipandang sebagai anggota masyarakat. Di satu sisi, perorangan adalah alat untuk melaksanakan tujuan masyarakat. Tujuan hidup perorangan adalah berkarya untuk masyarakat. Di sisi lain, perorangan adalah juga pemangku hak. Hak yang dipangku perorangan adalah hak masyarakat, berupa kekuasaan yang memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Perorangan diharapkan menggunakan kekuasaan itu sesuai dengan tujuan sosial hukum adat.

Dilihat dari hak individu semata, hal ini tampak sebagai pengsubordinasian individu dari masyarakat. Namun dalam masyarakat komunal, perorangan diliputi kesadaran untuk bersekutu, dan perasaan seiya sekata dengan masyarakat. Sehingga, perorangan menyadari tugas-tugas kemasyarakatan bukan sebagai beban yang ditimpakan kepadanya, melainkan sebagai jabatan yang biasa dan sepatutnya dalam kehidupan.

Meski mengutamakan komunalisme, Hatta melihat individualisasi sebagai proses yang niscaya. Individualisasi adalah akibat dari ekonomi modern. Yang ditakutkannya adalah, proses individualisasi itu menuju individualisme, yang membendakan segala hubungan manusia. Namun Hatta optimis, proses individualisasi tidak akan melenyapkan sifat kolektif masyarakat Indonesia dengan hukum adatnya. Optimisme itu berdasarkan pada pengamatan Holleman dan Soepomo yang melihat, bahkan di desa paling maju, cita-cita kolektif hidup terus.

Hatta juga melihat, perubahan masyarakat, akan menimbulkan adat-adat baru, dan pada gilirannya akan mengubah pula hukum adatnya. Namun sekali lagi Hatta optimis, meski hukum adatnya berubah, kolektivisme akan tetap hidup dalam masyarakat Indonesia.

Bagian berikutnya akan menyampaikan sosialisme Indonesia menurut Hatta. Nantikan. Salam Pancasila!

Pustaka
Hatta, Mohammad. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1963.

Tulisan ini dimuat juga di website sekolahpancasila.com

Senin, 03 Februari 2020

Lahirnya Tragedi Komedi

Sebuah Tulisan tentang Film Joker (2019)


Spoiler Alert! Tulisan ini menyampaikan poin-poin penting dan akhir dari cerita film Joker.

Film Joker (2019) itu sensasional. Anda bisa suka atau tidak suka dengan film itu. Yang sulit, tidak merasakan apa-apa terhadapnya. Setidaknya ada tiga sensasi terhadap Joker. Pertama, kaget. Diketahui banyak orang, Joker itu musuh Batman, tokoh dari dunia komik, yang biasa dikonsumsi anak-anak. Orang yang menduga akan menyaksikan tokoh badut yang biasanya ada dalam hiburan anak-anak, tentunya akan kaget, karena film garapan Todd Phillips itu ditujukan untuk penonton dewasa, membicarakan tema-tema dewasa, memiliki kompleksitas cerita yang hanya dimengerti - atau tidak - oleh orang dewasa, dan menampilkan adegan-adegan yang hanya cocok disaksikan oleh orang dewasa. Orang-orang yang kaget, setelah menonton filmnya, akan bilang, “Jangan bawa anak-anak ya, filmnya ga cocok buat mereka.”

Kedua, tidak nyaman. Orang umumnya menonton film untuk mendapatkan hiburan. Apalagi jika antisipasinya adalah menonton film tentang tokoh komik. Untuk memenuhi itu, banyak film menampilkan pemandangan, adegan, cerita, pokoknya segala hal yang indah atau dibuat indah. Bahkan perang pun bisa ditampilkan dengan indah. Jangan harap hal itu ada dalam film Joker. Bukan hanya tokoh dan kisahnya yang gelap, tentang orang yang bergumul dengan kondisi mental dan penderitaan hidupnya. Kotanya pun kotor dan jorok. Gotham dalam film Joker adalah kota yang kumuh, sampah berserakan di mana-mana, dan tengah diserang hama tikus raksasa. Menonton film itu, jangankan terhibur, nyaman pun tidak.

Ketiga, takut akan dampaknya. Kelanjutan dari sensasi pertama dan kedua, sensasi ini muncul setelah selesai menonton filmnya. Takut film gelap bertema dewasa itu mempunyai dampak atas dunia nyata. Mungkin yang paling umum adalah, takut ada orang di dunia nyata yang meniru apa yang dilakukan Joker dalam film, terutama membunuh. Selain itu, ada pula yang takut, orang di dunia nyata ‘ketularan’ kondisi yang dimiliki tokoh yang dimainkan Joaquin Phoenix itu dalam film, ikut-ikutan merasa mempunyai kondisi mental, dan melakukan hal-hal aneh.

Karena kesensasionalannya itu, banyak orang membicarakan film Joker. Mulai analisis serius dari berbagai sudut pandang - sosiologis, psikologis, bahkan moralis - sampai meme viral, “Orang jahat lahir dari orang baik yang ...”

Untuk saya, film itu adalah perjalanan matinya Arthur Fleck, serta lahirnya Joker. Apa yang dilakukan sang protagonis sepanjang film itu adalah segala upaya untuk melepaskan dirinya dari jerat-jerat “sistem” (Joker). Namun, upaya demi upaya yang dilakukan sang protagonis itu mematikan satu bagian dirinya, sekaligus memunculkan bagian yang lain.

Film Joker berlatar Gotham - kota tempat Batman dan musuh-musuhnya beraksi - di tahun 1981. Pada masa itu, warga Gotham bergulat dengan pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan. Kotanya sendiri dililit oleh masalah keuangan. Dinas kebersihan tidak dibayar, membuat sampah tidak diangkut dan menumpuk. Jaminan kesehatan dipotong, membuat sebagian warga tidak mendapatkan akses pada pelayanan kesehatan.


Arthur Fleck hidup di dalam kota dan masyarakat dengan “sistem” yang bobrok seperti itu. Sebobrok-bobroknya suatu sistem, kalau masih bekerja, akan memberi upah jika kita hidup sesuai dengannya, dan akan memberi hukuman jika kita hidup berlawanan dengannya. Namun untuk Arthur, seorang badut, berpendapatan pas-pasan, dengan kondisi mental tidak dapat mengontrol tawanya, dan mengandalkan BPJS versi Gotham untuk menanggulangi kondisinya itu, “sistem” selalu menilainya salah. Salah waktu, salah tempat, salah kostum, salah karena miskin, salah karena aneh, dan salah-salah lainnya. Karena salah, “sistem” pun menghukumnya.

Untuk Arthur, satu-satunya yang bekerja dalam “sistem” itu adalah hubungan dengan ibunya. Arthur mengurus dan merawat ibunya, sebagaimana ibunya mencintai dan mengasihi Arthur sejak kecil. Setidaknya Arthur pikir demikian.

Sebagai bagian ‘kelas bawah’ dalam “sistem”, Arthur harus menerima berbagai perlakuan yang kebanyakan buruk dari orang-orang yang memang atau merasa di atasnya. Salah satunya, remaja-remaja yang mengganggunya saat bekerja. Tidak selesai sampai di situ, ia bahkan harus mengganti kerusakan yang dibuat remaja-remaja itu.

Puncaknya, setelah dipecat dari tempat kerjanya, dan tidak lagi mendapatkan penanganan dan obat untuk kondisi mentalnya, Arthur di-bully dan dikeroyok oleh tiga orang eksekutif perusahaan Wayne - milik Thomas Wayne yang anaknya kelak menjadi Batman - di kereta bawah tanah.


Tidak tahan lagi dengan perlakuan “sistem” dan orang-orang atasnya, Arthur pun membunuh tiga eksekutif itu. Setelah syok atas apa yang telah dilakukannya, ia lantas dengan ringannya menari, seperti terbebas dari jeratan yang menyesakkan. Persisnya, ia terbebas dari jerat sistem kelas dalam masyarakat, yang punya aturan tak tertulis, “Yang atas boleh sewenang-wenang pada yang bawah.”

Ke depannya, Joker akan melawan bahkan membunuh orang-orang yang menghinanya, menertawakannya, mem-bully-nya, pokoknya sewenang-wenang terhadapnya. Bukan untuk balas dendam, tetapi untuk “... membuat orang-orang tertawa”. Kalau orang-orang tidak tertawa, menurut Joker, itu karena mereka tidak mengerti apa yang dilakukannya sebagai komedi yang lucu.

Dengan melawan hingga membunuh tiga eksekutif perusahaan Wayne itu, dimulailah proses kematian Arthur dan kelahiran Joker.

Proses itu berpuncak setelah Arthur membunuh ibunya. Hubungan dengan ibunya, tadinya ia pikir, adalah satu-satunya yang bekerja dalam “sistem”. Hubungan kasih sayang orang tua dan anak, di mana ia mengurus dan merawat ibunya, sebagaimana ibunya mencintai dan mengasihinya sejak kecil. Namun, Arthur kemudian mengetahui, ibunya kemungkinan berbohong, tentang siapa sebenarnya ayahnya, siapa sebenarnya ibunya, dan karenanya siapa sebenarnya dirinya. Lebih parah lagi, ia pun kemudian mengetahui, ibunya membiarkan pacarnya saat itu menyiksa Arthur kecil hingga mengalami trauma parah di kepalanya.

Mengetahui satu-satunya hubungan yang - tadinya ia pikir - bekerja dengan baik itu adalah kebohongan, membuat eksistensi Arthur Fleck sekarat, melemah menuju kematian. Semakin lemah Arthur Fleck, semakin kuat Joker muncul ke permukaan. Dengan pengetahuan itu, Arthur menghampiri ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit. Namun agaknya, yang datang ke rumah sakit bukanlah Arthur, melainkan Joker. Sebab, ia berkata demikian kepada ibunya, “Remember you used to tell me that my laugh was a condition, that there was something wrong with me? It isn’t. That’s the real me.” (Ingatkah ibu selalu bilang tawaku itu suatu penyakit, bahwa ada yang salah denganku? Bukan. Itu aku yang sebenarnya.) (Joker). Kemudian, ia membekap ibunya dengan bantal sampai mati.

Setelah membunuh ibunya, Arthur Fleck mati, dan Joker lahir. Dengan membunuh ibunya, Arthur Fleck telah memutuskan ikatan utama dari jaring “sistem”. Jaring yang menjeratnya dari segala arah, dari “sistem” yang menilainya selalu salah. Meski tidak selalu adil, sebenarnya “sistem” itu adalah ‘kenormalan’, yang membentuk dan menopang manusia agar menjadi dan tetap normal. Setiap perbuatan yang sesuai dengan ‘kenormalan’ akan memperkuat ikatan jaring “sistem” itu, sedangkan setiap perbuatan yang bertentangan dengan ‘kenormalan’ akan memutus satu ikatan jaring itu. ‘Ibu’ sendiri mempunyai banyak peran penting dalam ‘kenormalan’, yang melahirkan, yang mengurus, yang menyayangi, dan sebagainya. Sehingga ‘ibu’ menjadi titik dari salah satu ikatan utama jaring ‘kenormalan’. Melakukan hal yang sesuai ‘kenormalan’ kepada ‘ibu’, akan memperkuat ikatan jaring ‘kenormalan’, dan diberi upah oleh “sistem”, misalnya dipuji sebagai ‘anak yang berbakti’. Melakukan hal yang bertentangan dengan ‘kenormalan’ kepada ‘ibu’, akan memutuskan ikatan utama jaring ‘kenormalan’, bahkan hingga ‘kenormalan’ tidak dapat lagi menopang orang itu. Jika seseorang sudah tidak ditopang ‘kenormalan’, orang itu dapat dinilai ‘tidak normal’, ‘tidak waras’, ‘gila’, atau penilaian-penilaian seperti itu. Hal ini misalnya tertuang dalam reaksi banyak orang ketika mendengar berita seorang anak membunuh ibunya, “Udah gila kali tuh orang.” Jadi dengan membunuh ibunya, sistem yang sejak awal sudah tidak bekerja dengan baik untuk Arthur, dan semakin banyak ikatannya yang putus seiring perbuatan-perbuatan salah yang dilakukan Arthur, itu jebol dan tidak bisa lagi menopang ‘kenormalan’. Arthur Fleck yang meski pecundang, tidak lucu, aneh, miskin, tetapi masih dan berusaha untuk tetap normal itu pun mati.

Sedangkan untuk Joker, membunuh ibunya adalah puncak proses kelahirannya ke dunia. Gangguan-gangguan yang dialami Arthur Fleck itu menyebabkan ‘kontraksi’ mental untuknya. Karena gangguan dalam hidupnya itu semakin sering dan semakin besar, ‘kontraksi’ yang dialami Arthur pun semakin sering dan semakin kuat, seperti dalam proses melahirkan. Momen di saat Arthur mengetahui bahwa hubungan dia dan ibunya adalah kebohongan, seperti pecahnya air ketuban, hilangnya lapisan yang melindungi hubungan ibu dan anak disebabkan suatu dorongan, dan menandakan ada yang siap dilahirkan. Ketika ia membekap ibunya sampai mati, Joker mendorong dirinya keluar dan memutuskan hubungan dengan ibunya, seperti lahirnya seorang bayi yang diikuti pemotongan tali pusat. Joker pun telah lahir.

Joker yang baru lahir ini bukanlah Arthur Fleck, manusia yang terikat dengan norma-norma dan hanya menerima apa yang dunia lemparkan kepadanya. Joker adalah makhluk tanpa ikatan, seperti yang dikatakannya, “I’ve got nothing left to lose. Nothing can hurt me anymore.” (Saya tidak punya apa-apa. Tidak ada yang dapat menyakitiku lagi.) (Joker). Dengan kebebasannya, ia ingin menciptakan dunia yang menjadikannya pusat, dunia yang orang-orangnya tertawa dan bersukaria dengan apa yang dilakukannya. Bukan menertawakan dirinya, tetapi menertawakan apa yang dilakukan Joker karena memahaminya sebagai komedi yang lucu.


Kini saatnya Joker mewartakan kedatangannya pada dunia. Tahun 80-an, kalau ingin terkenal, ya masuk TV, kan belum ada internet, media sosial, Youtube, dan sebagainya. Sebelumnya, Arthur mendapat undangan untuk tampil di talk show Murray Franklin, karena acara itu memperoleh video pementasannya yang gagal. Arthur yang ingin menjadi pelawak berkesempatan untuk melakukan stand up comedy. Namun di atas pentas, Arthur gagal menyelesaikan pertunjukannya karena kumat, ia terus-menerus tertawa secara tak terkendali. Ternyata kejadian itu ada yang merekam, dan dikirim untuk diputar di acara talk show TV. Orang-orang tertawa dibuatnya, tetapi bukan menertawakan lawakan Arthur, melainkan menertawakan kegagalannya. Arthur pun diundang ke acara itu untuk ditampilkan sebagai pelawak gagal yang cuma bisa tertawa-tawa.

Untuk tampil di acara itu, ia mengecat rambutnya dengan warna hijau, merias mukanya dengan riasan badut, dan mengenakan setelan jas berwarna cerah. Hal ini membuatnya tampil sebagai Joker.

Di acara itu Joker, tidak menerima saja seperti Arthur Fleck, menggugat sistem dan masyarakat, “All of you, the system that knows so much, you decide what’s right or wrong. The same way that you decide what’s funny or not.” (Kalian semua, sistem yang tahu segalanya, kalian memutuskan apa yang benar dan apa yang salah. Sebagaimana kalian memutuskan apa yang lucu dan apa yang tidak lucu.) (Joker). Selanjutnya Joker mengakui, ia lah yang membunuh tiga eksekutif perusahaan Wayne. Ketika seluruh penonton di studio menghakimi dan mencelanya, ia menggugat kembali, “Oh, why is everybody so upset about these guys? If it was me dying on the sidewalk, you’d walk right over me. I pass you everyday and you don’t notice me!” (Kenapa semua orang begitu marah tentang pembunuhan orang-orang itu? Jika saya yang sekarat di pinggir jalan, kalian akan lewat begitu saja. Saya bertemu kalian setiap hari dan kalian tidak kenal saya!) (Joker). Joker pun menutup penampilannya di TV dengan aksi yang spektakuler, menembak pembawa acara talk show itu Murray Franklin, di depan semua penonton di studio dan pemirsa di rumah.

Dunia yang diinginkan Joker tampaknya mulai terbentuk. Pembunuhan yang dilakukan Arthur terhadap tiga eksekutif Wayne menyebar lewat berita sebagai ‘pembunuhan kelas atas oleh orang berias badut’. Gotham yang dilanda kesenjangan sosial, membuat penerimaan atas peristiwa itu terbagi, ada yang mengutuknya sebagai pembunuhan keji, tetapi banyak pula yang menerimanya sebagai perlawanan terhadap kelas atas, dan menjadikan badut sebagai simbol perjuangan kelas. Pada saat Joker tampil di TV, orang-orang yang terinspirasi si badut melakukan demonstrasi di jalan, untuk melawan sistem yang tidak adil, dengan menggunakan topeng badut. Demo kemudian tersulut menjadi huru-hara. Penampilan Joker di TV membuat para demonstran tahu siapa inspirator mereka. Ketika Joker sudah keluar dari studio TV dan berada di tengah huru-hara itu, ia menyaksikan Gotham yang kacau, yang berarti “sistem” telah rusak. Ia pun melihat para demonstran menyorakinya bak seorang pahlawan, mungkin untuk pertama kali orang-orang menerimanya seperti itu. Untuk Joker, ini bukan huru-hara, ini adalah hura-hura. Ia dengan sukaria menikmati kerusakan “sistem” dan pujaan orang banyak.


Kalau mau belajar dari film Joker, ketika kita bertanya seperti, “Sampai mana skripsinya?”, “Sudah kawin?”, “Sekarang kerja di mana?”, atau ketika kita menilai orang lain dengan, “Dasar bodoh”, “Ga lucu”, “Pecundang”, pokoknya menanyakan atau menilai orang dengan hal-hal normal yang biasanya orang lakukan, itu artinya kita menjadi agen ‘kenormalan’, orang yang menerapkan atau memeriksa apakah hidup seseorang sesuai dengan ‘kenormalan’ atau tidak. Ingat, seperti dalam film, ‘kenormalan’ menghukum orang yang hidup tidak sesuai dengannya, tetapi “sistem” itu belum tentu adil. Ketika kita menanyai atau menilai orang lain, jangan-jangan dalam diri orang itu ada Joker yang menanti untuk lepas. Tidak usah takut, dalam dunia yang keras dan dingin, dengan “sistem” yang tidak adil, setiap orang adalah Arthur Fleck yang menanti untuk diajak bicara dan dipahami. Mungkin juga, diajak nonton film Joker.

Film
Joker. Sutradara Todd Phillips. Warner Bros. Pictures, 2019. Film.