Kamis, 24 Mei 2018

Merenungkan Pengalaman dalam Waktu


Sebuah Pembacaan atas Einstein’s Dreams

Mimpi-mimpi Einstein (Einstein’s Dreams) adalah karya fiksi (novel) Alan Lightman yang pertama. Terbit pertama kali dalam Bahasa Inggris pada tahun 1992, dan telah diterjemahkan ke dalam tiga puluh bahasa. Edisi Bahasa Indonesia terbit pertama kali pada tahun 1999. Yang digunakan di sini, edisi Bahasa Indonesia cetakan kesebelas yang terbit pada tahun 2015. Lightman sendiri adalah seorang ahli fisika, penulis, dan entrepeneur sosial. Pernah mengajar di Harvard, dan kini menjadi profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT).

Mimpi-mimpi Einstein bercerita tentang mimpi-mimpi yang dialami oleh Albert Einstein muda (fiktif) ketika sedang mengerjakan Teori Relativitas-nya. Buku itu terdiri dari tiga puluh bagian, satu prolog, tiga interlud, dan satu epilog. Setiap bagian menceritakan sebuah mimpi tentang waktu. Ada mimpi tentang waktu sebagai suatu lingkaran, ada pula mimpi tentang waktu yang justru mengalir ke belakang, bahkan ada mimpi tentang waktu sebagai kawanan burung bulbul.

Saya berpendapat, tiga puluh mimpi tentang waktu itu tidak dilukiskan Lightman dengan intensitas yang sama.

Ada mimpi tentang waktu yang dilukiskan dengan intensitas tinggi, penggambarannya tentang suatu konsepsi waktu sangat terjaga koherensinya. Contoh, mimpi di tanggal “4 Mei 1905” tentang ‘waktu yang benar-benar berlalu tetapi sedikit sekali yang berubah’. Lightman menggambarkan keadaan tersebut dengan obrolan dua pasang suami-istri yang bertempat di pertemuan tahunan di sebuah hotel. Dituturkan, pendapat seorang istri tentang serbet hotel, telah dikatakannya  setahun yang lalu (h. 33). Penggambaran tentang keadaan yang perubahannya sangat sedikit itu kemudian diperkuat ketika, salah seorang suami menanyakan kabar anak-anak pasangan lainnya, hanya dijawab dengan, “Bertambah umur satu tahun” (h. 34). Di sini, Lightman dengan intensitas yang terjaga dapat menggambarkan suatu dunia dengan waktu yang bergerak lamban sekali, atau suatu dunia yang perubahannya sedikit sekali dalam gerak waktu.

Sayangnya, ada pula mimpi tentang waktu yang dilukiskan dengan intensitas lebih rendah, penggambarannya tentang suatu konsepsi waktu kurang terjaga koherensinya. Contoh, mimpi di tanggal “11 Juni 1905” tentang ‘waktu yang berakhir pada masa kini’. Dikatakan, “... waktu adalah garis yang berakhir pada masa kini, baik dalam kenyataan maupun pikiran” (h. 97). Namun dalam penggambarannya, dilukiskan ‘kenyataan memiliki masa depan’ seperti dalam, “Setelah duapuluh menit, badai pun berlalu, hujan berhenti, dan langit menjadi cerah” (h. 99), dan hanya pikiran manusianya - dalam mimpi ini seorang pemuda - yang tidak bisa membayangkan masa depan. Di sini, Lightman kurang bisa menjaga intensitasnya dalam menggambarkan waktu yang berakhir pada masa kini baik dalam kenyataan maupun pikiran. Penggambarannya justru melukiskan waktu yang berakhir pada masa kini dalam pikiran manusia, dan karena itu tokohnya melihat kekinian sebagai keakhiran, sedangkan dalam kenyataannya waktu terus berjalan.

Mimpi-mimpi Einstein bisa diterima sebagai sebuah novel tentang refleksi waktu (objektif). Maksudnya, sebuah novel yang menceritakan bagaimana keadaan suatu dunia - serta manusia sebagai penghuninya - dengan suatu bentuk waktu, dan bagaimana pula keadaan suatu dunia dengan bentuk waktu yang lain. Namun, bisa juga diterima sebagai sebuah novel tentang penghayatan waktu (subjektif). Maksudnya, sebuah novel yang menuturkan tentang bagaimana manusia menghayati waktu, yang ada kalanya seperti berjalan melingkar, sementara di kala lain seakan surut ke belakang.

Saya sendiri memlilih yang kedua, menerima novel Lightman tersebut sebagai suatu novel tentang penghayatan waktu. Di mana, kita tinggal di bumi secara bersama, kita mengukur waktu secara bersama pula, berdasarkan revolusi planet yang kita huni bersama mengitari matahari, dan berdasarkan rotasinya berputar di porosnya sendiri, yang kemudian kita cacah, tahun jadi bulan, bulan jadi minggu, minggu jadi hari, hari jadi jam, jam jadi menit, dan menit jadi detik. Namun demikian, tiap-tiap kita menghayati waktu secara sendiri-sendiri, berdasarkan apa yang sedang kita alami. Misalnya, waktu seakan berjalan terlalu lambat untuk seorang anak yang ingin cepat tumbuh dewasa. Namun, waktu yang sama seakan terlalu cepat berlalu bagi orang tua yang melihat anaknya tumbuh dewasa dan mulai mempunyai kehidupan sendiri.

Bahkan, waktu bisa dihayati secara berbeda di tempat yang sama. Ilustrasinya sebagai berikut. Di sebuah pusat perbelanjaan, bagi seorang penjaga toko yang menjalankan rutinitas hariannya, waktu seakan berjalan melingkar, datang, buka toko, melayani pembeli, makan siang, melayani pembeli lain, tutup toko, pulang, dan keesokan harinya, semuanya itu ia ulangi lagi. Bagi seorang pengunjung yang melihat teman SMA-nya, waktu seakan surut ke belakang, membawanya kembali ke masa SMA ketika ia dan temannya belajar bersama, atau bolos bareng. Bagi sepasang kekasih yang bercengkerama di coffee shop, waktu seakan berjalan sangat cepat, baru ngobrol sebentar, si pelayan sudah memberikan bill dan memberitahu bahwa coffee shop akan tutup sebentar lagi.

Diterima sebagai sebuah novel tentang bagaimana manusia menghayati waktu, Mimpi-mimpi Einstein menyajikan tiga puluh mimpi tentang waktu, yang mengajak kita merenungkan pengalaman kita sendiri dalam waktu. Saya yakin, sebagian - atau bahkan semua - kisah tentang waktu itu pernah kita alami. Namun mungkin, kita tidak merenungkannya secara mendalam.

Jumat, 18 Mei 2018

The Road to Hell is Paved with Good Intentions


Suatu ketika saya berjumpa dengan pepatah dalam Bahasa Inggris yang berbunyi, “The road to hell is paved with good intentions”. Pepatah tersebut jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya adalah ‘jalan ke neraka disusun oleh niat baik’.

Pepatah itu menawan saya. Setelah perjumpaan dengannya, ada saat-saat di mana saya mengingatnya kembali, memikirkannya, dan mengatakannya di dalam hati. Dengan suatu cara, pepatah itu menjadi penghiburan untuk saya.

Sejak perjumpaan pertama, saya sudah mengetahui arti pepatah itu dalam Bahasa Indonesia. Namun, karena menawan, saya pun mencari tahu maknanya. Dari pencarian itu, saya menemukan bahwa pepatah itu memiliki banyak makna. Dari sekian banyak, makna pepatah itu kiranya dapat dikelompokkan menjadi empat makna yang cukup berbeda.

Makna pertama, orang sangat mudah untuk mengatakan niat baik, tetapi sering kali gagal menyatakan - membuat jadi nyata - niat itu. Di sini, kegagalan itu dikarenakan suatu niat memang tidak dilaksanakan, entah karena seseorang dengan mudahnya mengatakan suatu niat tetapi malas menjalankannya, ataupun karena orang itu lemah di hadapan berbagai godaan yang membuatnya tidak jadi menjalankan niatnya. Contohnya, seseorang berniat membantu keuangan saudaranya yang sedang berkesusahan. Namun, ketika uang sudah didapat, ia justru menggunakannya untuk memanjakan anaknya, dan tidak jadi membantu saudaranya. Kita dapat mengatakan, “The road to hell is paved with good intentions”, dalam pengertian ‘niat baik itu tidak ada artinya jika tidak dilaksanakan’.

Makna kedua, niat baik itu bisa mendatangkan hasil yang buruk. Di sini, niatnya memang baik, niat itu pun sudah dilaksanakan, tetapi hasilnya justru berbeda bahkan bertolak belakang dari apa yang diniatkan, yaitu keburukan. Orang yang berniat biasanya membela diri dengan mengatakan, “Niatnya kan tidak begini (seperti hasilnya), niatnya kan baik”. Sebenarnya orang itu tidak dapat dengan mudah membela diri atas dasar ‘yang penting niatnya baik’. Jika hasilnya adalah keburukan, pasti ada kesalahan dalam pelaksanaannya, bisa karena kurangnya pengetahuan atau kemampuan untuk mencapai apa yang diniatkan, bisa karena setengah hati dalam melaksanakannya, bisa juga karena hal yang lain. Contohnya, seseorang yang berniat untuk meringankan beban temannya, tetapi apa yang dilakukan untuk mencapai niat itu justru menambah beban temannya itu. Kita dapat mengatakan, “The road to hell is paved with good intentions”, dalam pengertian ‘langkah-langkah buruk menuju petaka bisa dimulai dari niat yang baik’.

Makna ketiga, atas dasar niat baik, seseorang bisa melakukan hal yang jahat. Hal ini bisa terjadi karena, apa yang diniatkan sesungguhnya bukanlah kebaikan, tetapi hanya diyakini sebagai baik oleh orang yang meniatkannya. Bisa juga, apa yang diniatkan memang baik, tetapi orang yang meniatkannya beranggapan bahwa niat itu boleh dicapai dengan melakukan kejahatan. Contohnya, seseorang yang berniat menyekolahkan anaknya di sekolah yang bagus, tetapi hal tersebut dicapai dengan mengambil apa yang bukan haknya. Kita dapat mengatakan, “The road to hell is paved with good intentions”, dalam pengertian ‘kejahatan memang bisa dilakukan atas dasar niat yang baik’.

Makna keempat, (ujaran) niat baik bisa digunakan untuk menutupi perbuatan jahat. Di sini, seseorang sesungguhnya niatnya memang jahat, ia pun melakukan niatnya itu, tetapi untuk menutupi atau mendapatkan persetujuan atas apa yang dilakukannya itu ia mengatakan suatu niat baik. Contohnya, seseorang tinggal bersama bibinya dan mengatakan, “Saya bermaksud mengurus bibi saya yang sudah tua”, tetapi sesungguhnya apa yang diniatkan dan kemudian dilakukannya adalah menguras harta wanita tua malang itu. Kita dapat mengatakan, “The road to hell is paved with good intentions”, dalam pengertian ‘perbuatan-perbuatan jahat yang dapat membawa seseorang ke neraka sering kali ditutupi oleh niat baik’.

Menghayati makna-makna pepatah ‘The road to hell is paved with good intentions’, menjadi jelas mengapa pepatah tersebut hadir sebagai suatu penghiburan untuk saya. Ungkapan dalam Bahasa Inggris itu mematahkan berbagai tindakan buruk yang mengatasnamakan niat baik, dari kegagalan melaksanakan niat, pelaksanaan niat yang tidak mencapai tujuan, tindakan jahat atas dasar niat baik, bahkan kejahatan yang diselubungi oleh ujaran niat baik. Pepatah Inggris itu mengajarkan, niat baik hanya berarti jika dilaksanakan, pelaksanaannya pun kiranya mencapai apa yang diniatkan, dan hal ini sangatlah sulit. Kalau sekadar niat baik, jalan ke neraka pun disusun oleh niat baik.

Kamis, 17 Mei 2018

Good Old Tablet: Bagian 3

© Raimond Spekking / CC BY-SA 4.0 (via Wikimedia Commons)

Ketika mempersiapkan tablet Samsung Galaxy Tab 2 untuk digunakan kembali, saya berhadapan dengan beberapa kendala mendasar untuk membuat tablet itu lebih up to date. Sebuah perangkat elektronik lama tentu saja spec-nya sudah tertinggal dari yang baru. Tetapi biasanya ada cara mudah yang dapat kita lakukan untuk membuat perangkat lama itu lebih up to date.

Saya pernah menggunakan kembali sebuah laptop lama, dengan prosesor Core 2 Duo, memori RAM 2 GB, dan OS Windows Vista. Ketika akan digunakan kembali, laptop tersebut saya tambah memorinya 2 GB menjadi total 4 GB, dan OS-nya saya ganti dengan Linux Ubuntu. Ketika digunakan kembali, laptop itu memiliki memori RAM yang lebih memadai dan OS yang lebih modern dari sebelumnya.

Namun tidak demikian halnya dengan tablet, tidak ada cara yang mudah untuk membuat spec-nya lebih up to date. Di sisi hardware, untuk menambah memori dapat dikatakan hampir mustahil untuk dikerjakan oleh pengguna awam. Memori RAM tablet adalah IC (Integrated Circuit) yang disolder pada motherboard-nya. Untuk meng-upgrade memori tablet, kita pertama-tama harus menemukan memori yang lebih besar tetapi dengan ukuran yang sama dengan memori yang akan diganti, kemudian mempunyai kemampuan dan alat-alat untuk melepas memori yang lama dan memasang memori yang baru, dan selanjutnya masih perlu menguji apakah memori yang lebih besar itu diterima oleh firmware tablet kita. Singkatnya, meng-upgrade memori RAM sebuah tablet itu sulit dan membutuhkan kemampuan khusus.

Di sisi software, upgrade resmi OS datang dari pembuatnya, dalam hal ini Samsung. Untuk Galaxy Tab 2, Samsung memberikan upgrade dari Android Ice Cream Sandwich (4.0.3) ke Android Jelly Bean (4.1.2). Jika ingin meng-upgrade OS tablet kita ke Android versi yang lebih baru daripada Jelly Bean (4.1.2) misalnya Marshmallow (6.0), maka kita harus menggunakan custom ROM, yang meski dapat dilakukan tetapi lebih sulit daripada melakukan upgrade resmi dari pembuatnya. Dengan demikian, jika mempertimbangan kepraktisan dan kemudahannya, kita akan terpatri dengan memori bawaan dan upgrade terakhir OS dari pembuatnya.

Yang lebih mengkhawatirkan, perangkat elektronik trennya memang semakin sulit untuk di-upgrade - atau di-sevice - oleh penggunanya. Bukan hanya tablet, banyak laptop kini memiliki memori yang disolder ke motherboard-nya. Serta, untuk mendapatkan form factor yang lebih langsing, pembuatnya tidak menyediakan memory slot untuk menambah memori. Ditambah lagi, laptop - juga desktop - kini sudah menggunakan UEFI yang menggantikan BIOS, suatu perubahan yang sedikit menambah sulit jika kita ingin meng-install OS alternatif seperti OS-OS berbasis Linux.

Ujung-ujungnya, karena sulit di-upgrade, kita menggunakan suatu perangkat sampai spec-nya dirasa sudah kurang memadai, kemudian membeli perangkat yang baru untuk menggantikannya. Dengan demikian, kita sudah merosot, dari orang yang dapat membangun perangkat sesuai kebutuhannya, menjadi orang yang hanya memakai perangkat yang disajikan kepadanya. Dari seorang customer, menjadi sekadar consumer.

Jumat, 11 Mei 2018

Good Old Tablet: Bagian 2

© Raimond Spekking / CC BY-SA 4.0 (via Wikimedia Commons)

Saya memutuskan menggunakan kembali tablet Samsung Galaxy Tab 2 lama itu dengan memberinya awal baru. Maksudnya, sebelum digunakan kembali, keadaan tablet itu dikembalikan ke keadaan awalnya seperti ketika masih baru, dengan melakukan factory reset.

Langkah-langkah untuk memberi awal baru bagi tablet itu adalah sebagai berikut.

Pertama, memindahkan file-file yang mungkin masih saya perlukan. Contohnya adalah file-file attachment email. File-file itu saya pindahkan ke komputer dengan menggunakan kabel USB.

Kedua, memformat sd card yang digunakan pada tablet itu. Langkah ini saya lakukan untuk memastikan sd card itu bersih dari file-file yang sebelumnya disimpan di dalamnya.

Ketiga, mem-factory reset tablet itu. Ini adalah langkah utama. Factory reset - seperti namanya - berarti mengembalikan keadaan (software) suatu perangkat ke keadaan awalnya seperti ketika masih di pabrik. Untuk kebutuhan saya, factory reset berguna untuk membersihkan secara total tablet lama itu, dengan harapan tablet itu berjalan dengan (cukup) lancar ketika digunakan kembali.

Keempat, dalam rangkaian factory reset, kita akan dibawa ke initial setting, setting awal seperti ketika kita akan menggunakan tablet baru. Setting di mana kita memasukkan (atau membuat) akun Google, memilih bahasa, lokasi, dan sebagainya.

Kelima, mengecek software update. Karena sebelumnya sudah mendapatkan update ke Android Jelly Bean (4.1.2) - dari Android Ice Cream Sandwich (4.0.3) - maka langkah ini saya lakukan hanya untuk memastikan tablet itu sudah mendapatkan update terkini untuknya.

Keenam, meng-uninstall atau men-disable apps dan widgets bawaan tablet itu. Sebagian apps dan widgets itu saya uninstall karena tidak akan dipakai lagi. Sebagian yang lain karena sudah sangat berat - bahkan tidak dapat - dijalankan. Contohnya, Google Maps. Ini saya lakukan agar tablet yang sudah berumur itu menjadi lebih lancar ketika digunakan kembali, karena bagaimanapun apps dan widgets yang ter-install akan membebankan sistem. Untuk apps dan widgets bawaan yang tidak bisa di-uninstall, saya disable.

Ketujuh, meng-install aplikasi yang akan digunakan sehari-hari. Namun, saya menemukan sebagian aplikasi yang dulu biasa digunakan sudah tidak mendukung Android Jelly Bean (4.1.2), dan harus mencari aplikasi penggantinya. Contohnya, aplikasi-aplikasi office dari Google (Docs, Sheets, dan Slides), yang saya ganti dengan WPS Office.

Setelah menempuh langkah-langkah di atas, tablet itu sudah siap untuk digunakan kembali. Memang ada batasnya, tetapi tablet itu masih dapat digunakan untuk tugas-tugas harian ringan.

Kamis, 10 Mei 2018

Good Old Tablet: Bagian 1


© Raimond Spekking / CC BY-SA 4.0 (via Wikimedia Commons)

Anda punya tablet lama tetapi belum mau membuangnya, dan bertanya-tanya apa yang masih bisa dilakukan dengannya? Saya begitu, punya tablet keluaran 2012, sudah tergeletak begitu saja di kamar, tapi masih enggan untuk membuangnya. Kemudian, saya pun memeriksa kemampuannya saat ini untuk digunakan kembali.

Tablet itu adalah Samsung Galaxy Tab 2 (GT-P5100). Tablet 10 inci dengan prosesor dual-core 1.0 GHz Cortex-A9 dan 1 GB RAM. OS bawaannya adalah Android 4.0.3 (Ice Cream Sandwich), tetapi sudah di-upgrade ke Android 4.1.2 (Jelly Bean) (untuk spec detailnya silakan klik di sini).

Secara umum, kondisi tablet itu masih baik dan terawat. Baterainya masih baik, meski siklus charge-discharge bertahun-tahun membuatnya sudah tak seprima saat baru. Sayangnya, tablet itu sudah terasa berat untuk melakukan hal-hal yang biasa dilakukan dengannya.

Setelah memeriksanya dengan teliti, saya menemukan beberapa hal.

Pertama, masih ada aplikasi yang dapat digunakan dengan baik di tablet itu. Aplikasi-aplikasi itu terutama adalah aplikasi penampil teks, seperti news app dan documents viewer.

Kedua, ada aplikasi yang masih dapat digunakan secara terbatas. Salah satu contohnya adalah Google Chrome, yang jika setting data saver-nya off maka sangat berat dalam menampilkan websites (terutama websites yang kompleks), tetapi jika setting data saver-nya on (yang dengan demikian Google mengoptimalkan tampilan suatu website untuk perangkat kita) maka dengan cukup lancar dapat menampilkan websites yang kompleks. Contoh lainnya adalah Youtube, yang masih lancar untuk menjalankan video hingga resolusi 360p, tetapi menjadi sangat berat untuk menjalankan video dari resolusi 480p ke atas.

Ketiga, ada aplikasi yang sudah sangat berat untuk dijalankan. Aplikasi itu di antaranya adalah game-game yang ter-install di tablet itu. Tidak ada game yang berjalan dengan lancar. Jenis aplikasi lainnya yang sangat berat untuk dijalankan adalah aplikasi-aplikasi social media, dalam hal ini Facebook dan Google+.

Berdasarkan pemeriksaan tersebut, ke depannya tablet lama itu akan saya gunakan terutama untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan teks seperti melihat dokumen, membaca berita, menerima email, dan browsing (ke situs-situs yang tidak mengandung multimedia), juga untuk melihat gambar, dan mendengar musik. Sesekali saya mungkin akan menggunakan tablet itu untuk melihat video yang tidak memerlukan resolusi tinggi di Youtube. Namun yang pasti, tablet lama itu tidak akan digunakan untuk aktivitas social media, dan main game.

Demikianlah pengalaman saya menggunakan kembali tablet lama. Kalau anda, diapakan?