Tulisan ini adalah sebuah refleksi atas artikel J. B. Schneewind,
“Globalization and the History of Philosophy”, Journal of the History of Ideas, 66/2, (2005): 169-178. Berbicara tentang
kemungkinan untuk ‘filsafat globalisasi’, atau suatu filsafat tentang kondisi
globalisasi, dan beberapa persoalan yang terlibat dalam penyusunannya.
Jika kita ingin menyusun suatu filsafat globalisasi, maka pertama-tama
kita harus menerima asumsi dasar dikotomi Barat-Timur. Di satu sisi, nyatanya
filsafat Barat-lah yang melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan modern, dan
karena itu sesuai untuk menjadi dasar dari suatu filsafat globalisasi. Di sisi
lain, akan banyak keberatan jika filsafat Barat dijadikan pendasaran tunggal dan
tertutup bagi suatu cara untuk menanggapi kondisi globalisasi.
Dengan demikian, kita harus secara sadar menentukan asumsi dasar dari
filsafat globalisasi, dan asumsi itu adalah dikotomi Barat-Timur.
Jika kita tidak menyadari asumsi dasar dari filsafat globalisasi yang
akan disusun, atau tidak menerima asumsi di atas sebagai dasarnya, maka setidaknya
terdapat dua kemungkinan.
Pertama, filsafat globalisasi yang kita susun adalah
analisis filosofis terhadap kondisi globalisasi dari perspektif filsafat Barat.
Hal ini sebenarnya sah, karena bagaimanapun filsafat Barat-lah yang paling siap
– baik secara kekiniannya dan lingkupnya – untuk menanggapi kondisi globalisasi.
Tetapi pihak yang keberatan dengan filsafat kita akan memiliki sasaran kritik
yang jelas, globalisasi dan filsafat yang membicarakannya dapat dengan mudah
dinilai sebagai sekadar proyek modernitas Barat.
Kedua, kita mungkin menyusun suatu filsafat globalisasi
berdasarkan filsafat non-Barat – contohnya filsafat Cina atau India. Tetapi
karena tradisi-tradisi filsafat non-Barat tidak beresonansi kuat dengan dunia
modern, risikonya adalah filsafat globalisasi yang kita susun sangat mungkin jatuh
menjadi suatu analisis yang anakronistis dan anakultural.
Jadi dengan diterimanya asumsi dasar dikotomi Barat-Timur, kita dapat menunjukkan
bahwa pilihan kita untuk berpijak – yaitu filsafat Barat – bukanlah pengaruh dari
hegemoni dan dominasi Barat, melainkan pilihan paling masuk akal untuk
mendapatkan pijakan yang kukuh. Asumsi tersebut juga menunjukkan bahwa kita
masih memberi ruang bagi filsafat non-Barat.
Setelah menetapkan asumsi dasar, maka tugas berikutnya adalah
menjelaskan ‘apa itu filsafat (philosophy)’.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, filsafat globalisasi yang akan kita
susun berpijak pada filsafat Barat dan mendapat masukan dari filsafat Timur
(non-Barat). Masalahnya, tidak semua budaya memiliki padanan yang persis sama bagi
filsafat serta fungsinya seperti dalam kebudayaan Barat.
Karena itu definisi filsafat yang berporos pada pengertiannya dalam
kebudayaan Barat tidaklah memadai, demikian pula penjelasan kata ‘filsafat’
berdasarkan akar kata Yunani-nya.
Lebih tepat jika penjelasan ‘apa itu filsafat’ mencakup juga wilayah
pemikiran atau permainan bahasa dalam kebudayaan non-Barat yang memiliki fungsi
sebagaimana filsafat dalam kebudayaan Barat.
Setelah apa yang disebut ‘filsafat’ menjadi jelas, tugas selanjutnya
adalah menentukan bentuk bagi filsafat globalisasi.
Bentuk yang tepat bagi filsafat globalisasi bukanlah suatu mazhab
pemikiran, karena – berdasarkan sejarah filsafat Barat – mazhab pemikiran
biasanya terkait erat dengan tradisi negara-bangsa (seperti rasionalisme
Perancis, idealisme Jerman, atau pragmatisme Amerika), padahal peran
negara-bangsa justru akan menyusut dalam kondisi globalisasi.
Bentuk yang tepat bagi filsafat globalisasi – berdasarkan dikotomi
Barat-Timur – adalah filsafat perbandingan. Dengan bentuk filsafat
perbandingan, kita dapat memastikan bahwa filsafat Barat dan non-Barat memiliki
peran yang relatif setara. Di mana filsafat Barat menjadi pijakan dan kerangka
dari filsafat globalisasi yang akan kita susun, sedangkan filsafat non-Barat
memberikan masukan mengenai keterbatasan asumsi filosofis yang mungkin terkandung
dalam filsafat Barat.
Dalam bentuk filsafat perbandingan, filsafat non-Barat juga dapat kita
gunakan untuk menanggapi suatu perdebatan kontemporer tanpa harus takut menjadi
anakronistis atau anakultural, karena kini filsafat itu telah dikerangkai oleh
filsafat Barat.
Akhirnya, jika kita ingin menyusun suatu filsafat mengenai kondisi
globalisasi, maka kita harus menentukan wilayah analisisnya. Jelas bahwa suatu
filsafat globalisasi tidak dapat lagi menganalisis lokus kekuasaan berdasarkan
geografi atau negara. Karena dalam kondisi globalisasi, peran keduanya justru
akan menurun. Maka dari itu, analisis sebaiknya ditujukan pada lokus kekuasaan
transnasional berdasarkan isu, misalnya kesetaraan gender atau lingkungan
hidup.
Catatan: Untuk keperluan blog, rujukan sengaja tidak dicantumkan.