Minggu, 22 Januari 2017

Fenomenologi sebagai Metode dan Filsafat


Baik fenomenologi sebagai metode dan sebagai filsafat mendapatkan bentuk jelasnya pada Edmund Husserl. Namun pada perkembangannya fenomenologi sebagai filsafat dapat dibedakan dari fenomenologi sebagai metode. Karena metode fenomenologis tidak terbatas penggunaannya pada ranah filsafat, dan filsafat fenomenologi juga bersentuhan dengan aliran filsafat lainnya seperti fenomenologi-eksistensialisme. Fenomenologi sebagai metode dan sebagai filsafat dapat dijelaskan sebagai berikut.

Husserl sendiri mulanya mengembangkan fenomenologi sebagai metode untuk meneliti kesadaran manusia yang berada dalam ranah psikologi eksperimental, sebelum akhirnya berfokus pada filsafat.

Apa yang disebut fenomenologi sebagai metode sendiri dapat dipaparkan secara singkat sebagai berikut.

Pertama, fenomenologi adalah usaha mendeskripsikan sesuatu tanpa melalui konstruksi teori.

Kedua, fenomenologi bertujuan untuk mengklarifikasi, bukan untuk menjelaskan. Deskripsi fenomenologis tidak menjelaskan penyebab sesuatu bereksistensi, melainkan menunjukkan perbedaan sesuatu dengan yang bukan-sesuatu agar kita memahami ‘ada’-nya sesuatu itu.

Ketiga, fenomenologi adalah penyelidikan atas hakikat, bukan atas fakta. Fenomenologi tidak berusaha mendeskripsikan sifat-sifat sesuatu, melainkan berusaha menyingkap esensi sesuatu.

Keempat, fenomenologi adalah penyelidikan reflektif. Fenomenologi tidak berurusan dengan entitas, melainkan pengalaman kita akan entitas.

Bagaimana metode fenomenologis bekerja? Jawabnya adalah dengan ‘reduksi’. Menurut Husserl, ada tiga tahap reduksi.

Pertama, ‘reduksi fenomenologis’. Di tahap ini, kita menyaring pengalaman-pengalaman kita untuk mendapatkan fenomen dalam wujud yang semurni-murninya. Dengan cara menangguhkan keputusan kita akan suatu fenomen, dan menempatkannya dalam tanda kurung. Kita harus menyadari, keputusan adalah pandangan yang telah kita miliki sebelumnya atas fenomen itu.

Kedua, ‘reduksi eidetis’. Di tahap ini, kita menyaring segala hal yang bukan hakikat (eidos) dari fenomena. Caranya dengan memasukkan segala hal yang bukan hakikat ke dalam tanda kurung, dan hanya menyisakan apa-apa yang mewujudkan fenomen itu.

Ketiga, ‘reduksi transendental’. Di tahap ini, kita menyaring eksistensi suatu fenomen yang tidak ada hubungannya dengan kesadaran murni, dengan cara memasukkannya dalam tanda kurung. Di titik ini, objek sampai pada apa yang ada pada subjek sendiri.

Sebagai catatan, metode Husserl tidak digunakan secara penuh oleh para pemikir yang menggunakan metode fenomenologis, melainkan digunakan dengan berbagai perubahan sesuai kebutuhannya masing-masing.

Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi adalah aliran yang berusaha mengatasi positivisme dan berbagai bentuk naturalisme yang berusaha menjelaskan dunia dan kehidupan dengan menggunakan metode ilmu alam.

Keberatan para filsuf pengikut aliran fenomenologi adalah, metode ilmu alam cenderung meringkus realitas, untuk memasukkannya dalam suatu kerangka teori, kemudian menempatkannya dalam konsep-konsep, dengan tujuan mengatur/menata realitas.

Mereka berpendapat, dengan melakukan hal ini kita tidak membiarkan realitas menyingkapkan dirinya, dan sebagai konsekuensinya kita tidak dapat memahami realitas yang sesungguhnya.

Husserl – yang dapat dianggap bapak fenomenologi – berusaha mengatasi naturalisme dengan menyusun suatu filsafat menyeluruh mengenai subjek yang mengetahui, merasakan, dan bertindak, berdasarkan penyelidikan atas pemahaman, dan memfokuskan proyeknya pada kesadaran.

Namun proyek filsafat Husserl ini bukan satu-satunya cara mengatasi naturalisme, karena para pengikut Husserl memiliki fokusnya masing-masing. Contohnya, Max Scheler yang berfokus pada penyelidikan atas esensi emosi dan intuisi, dan Karl Jaspers yang penyelidikannya terutama di bidang psikologi.

Bahkan Martin Heidegger – murid Husserl dan pengikutnya yang paling berpengaruh – menolak fokus Husserl pada kesadaran, dan sebagai konsekuensinya menolak juga banyak metode fenomenologis dasarnya. Heidegger sendiri berpendapat, tujuan fenomenologi adalah mendeskripsikan struktur keseharian ‘ada-dalam-dunia’.

Kepustakaan

Crowell, Steven. 2006. “Husserlian Phenomenology”. Dalam A Companion to Phenomenology and Existentialism, ed. Hubert L. Dreyfus dan Mark A. Wrathall, 9-30. Oxford: Blackwell Publishing.

Dreyfus, Hubert L. dan Mark A. Wrathall. 2006. “A Brief Introduction to Phenomenology and Existentialism”. Dalam A Companion to Phenomenology and Existentialism, ed. Hubert L. Dreyfus dan Mark A. Wrathall, 1-6. Oxford: Blackwell Publishing.

Lanur, Alex. 2011. Fenomenologi. Paper yang dipresentasikan dalam kelas Sejarah Filsafat Kontemporer Program Matrikulasi STF Driyarkara, 26 April, di Jakarta, Indonesia.

West, David. 1996. An Introduction to Continental Philosophy. Cambridge: Polity Press.

Catatan: Untuk keperluan blog, rujukan sengaja tidak dicantumkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar