Baik fenomenologi sebagai
metode dan sebagai filsafat mendapatkan bentuk jelasnya pada Edmund Husserl.
Namun pada perkembangannya fenomenologi sebagai filsafat dapat dibedakan dari
fenomenologi sebagai metode. Karena metode fenomenologis tidak terbatas
penggunaannya pada ranah filsafat, dan filsafat fenomenologi juga bersentuhan
dengan aliran filsafat lainnya seperti fenomenologi-eksistensialisme.
Fenomenologi sebagai metode dan sebagai filsafat dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Husserl sendiri mulanya
mengembangkan fenomenologi sebagai metode untuk meneliti kesadaran manusia yang
berada dalam ranah psikologi eksperimental, sebelum akhirnya berfokus pada
filsafat.
Apa yang disebut
fenomenologi sebagai metode sendiri dapat dipaparkan secara singkat sebagai
berikut.
Pertama, fenomenologi adalah usaha
mendeskripsikan sesuatu tanpa melalui konstruksi teori.
Kedua, fenomenologi bertujuan
untuk mengklarifikasi, bukan untuk menjelaskan. Deskripsi fenomenologis tidak menjelaskan
penyebab sesuatu bereksistensi, melainkan menunjukkan perbedaan sesuatu dengan
yang bukan-sesuatu agar kita memahami ‘ada’-nya sesuatu itu.
Ketiga, fenomenologi adalah
penyelidikan atas hakikat, bukan atas fakta. Fenomenologi tidak berusaha mendeskripsikan
sifat-sifat sesuatu, melainkan berusaha menyingkap esensi sesuatu.
Keempat, fenomenologi adalah
penyelidikan reflektif. Fenomenologi tidak berurusan dengan entitas, melainkan
pengalaman kita akan entitas.
Bagaimana metode
fenomenologis bekerja? Jawabnya adalah dengan ‘reduksi’. Menurut Husserl, ada
tiga tahap reduksi.
Pertama, ‘reduksi fenomenologis’. Di
tahap ini, kita menyaring pengalaman-pengalaman kita untuk mendapatkan fenomen
dalam wujud yang semurni-murninya. Dengan cara menangguhkan keputusan kita akan
suatu fenomen, dan menempatkannya dalam tanda kurung. Kita harus menyadari,
keputusan adalah pandangan yang telah kita miliki sebelumnya atas fenomen itu.
Kedua, ‘reduksi eidetis’. Di
tahap ini, kita menyaring segala hal yang bukan hakikat (eidos) dari fenomena. Caranya dengan memasukkan segala hal yang
bukan hakikat ke dalam tanda kurung, dan hanya menyisakan apa-apa yang
mewujudkan fenomen itu.
Ketiga, ‘reduksi transendental’. Di
tahap ini, kita menyaring eksistensi suatu fenomen yang tidak ada hubungannya
dengan kesadaran murni, dengan cara memasukkannya dalam tanda kurung. Di titik
ini, objek sampai pada apa yang ada pada subjek sendiri.
Sebagai catatan, metode
Husserl tidak digunakan secara penuh oleh para pemikir yang menggunakan metode
fenomenologis, melainkan digunakan dengan berbagai perubahan sesuai
kebutuhannya masing-masing.
Sedangkan sebagai
filsafat, fenomenologi adalah aliran yang berusaha mengatasi positivisme dan
berbagai bentuk naturalisme yang berusaha menjelaskan dunia dan kehidupan
dengan menggunakan metode ilmu alam.
Keberatan para filsuf
pengikut aliran fenomenologi adalah, metode ilmu alam cenderung meringkus
realitas, untuk memasukkannya dalam suatu kerangka teori, kemudian
menempatkannya dalam konsep-konsep, dengan tujuan mengatur/menata realitas.
Mereka berpendapat,
dengan melakukan hal ini kita tidak membiarkan realitas menyingkapkan dirinya,
dan sebagai konsekuensinya kita tidak dapat memahami realitas yang
sesungguhnya.
Husserl – yang dapat
dianggap bapak fenomenologi – berusaha mengatasi naturalisme dengan menyusun
suatu filsafat menyeluruh mengenai subjek yang mengetahui, merasakan, dan
bertindak, berdasarkan penyelidikan atas pemahaman, dan memfokuskan proyeknya pada
kesadaran.
Namun proyek filsafat
Husserl ini bukan satu-satunya cara mengatasi naturalisme, karena para pengikut
Husserl memiliki fokusnya masing-masing. Contohnya, Max Scheler yang berfokus
pada penyelidikan atas esensi emosi dan intuisi, dan Karl Jaspers yang
penyelidikannya terutama di bidang psikologi.
Bahkan Martin Heidegger –
murid Husserl dan pengikutnya yang paling berpengaruh – menolak fokus Husserl
pada kesadaran, dan sebagai konsekuensinya menolak juga banyak metode
fenomenologis dasarnya. Heidegger sendiri berpendapat, tujuan fenomenologi
adalah mendeskripsikan struktur keseharian ‘ada-dalam-dunia’.
Kepustakaan
Crowell, Steven. 2006.
“Husserlian Phenomenology”. Dalam A
Companion to Phenomenology and Existentialism, ed. Hubert L. Dreyfus dan
Mark A. Wrathall, 9-30. Oxford: Blackwell Publishing.
Dreyfus, Hubert L. dan
Mark A. Wrathall. 2006. “A Brief Introduction to Phenomenology and
Existentialism”. Dalam A Companion to
Phenomenology and Existentialism, ed. Hubert L. Dreyfus dan Mark A.
Wrathall, 1-6. Oxford: Blackwell Publishing.
Lanur, Alex. 2011. Fenomenologi.
Paper yang dipresentasikan dalam kelas Sejarah Filsafat Kontemporer Program
Matrikulasi STF Driyarkara, 26 April, di Jakarta, Indonesia.
West, David. 1996. An Introduction to Continental Philosophy. Cambridge:
Polity Press.