Sebuah Pembacaan atas Einstein’s
Dreams
Mimpi-mimpi Einstein (Einstein’s Dreams)
adalah karya fiksi (novel) Alan Lightman yang pertama. Terbit pertama kali
dalam Bahasa Inggris pada tahun 1992, dan telah diterjemahkan ke dalam tiga
puluh bahasa. Edisi Bahasa Indonesia terbit pertama kali pada tahun 1999. Yang
digunakan di sini, edisi Bahasa Indonesia cetakan kesebelas yang terbit pada
tahun 2015. Lightman sendiri adalah seorang ahli fisika, penulis, dan
entrepeneur sosial. Pernah mengajar di Harvard, dan kini menjadi profesor di
Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Mimpi-mimpi Einstein bercerita tentang mimpi-mimpi yang dialami oleh Albert
Einstein muda (fiktif) ketika sedang mengerjakan Teori Relativitas-nya. Buku
itu terdiri dari tiga puluh bagian, satu prolog, tiga interlud, dan satu
epilog. Setiap bagian menceritakan sebuah mimpi tentang waktu. Ada mimpi
tentang waktu sebagai suatu lingkaran, ada pula mimpi tentang waktu yang justru
mengalir ke belakang, bahkan ada mimpi tentang waktu sebagai kawanan burung
bulbul.
Saya berpendapat, tiga puluh mimpi tentang waktu itu tidak dilukiskan
Lightman dengan intensitas yang sama.
Ada mimpi tentang waktu yang dilukiskan dengan intensitas tinggi,
penggambarannya tentang suatu konsepsi waktu sangat terjaga koherensinya.
Contoh, mimpi di tanggal “4 Mei 1905” tentang ‘waktu yang benar-benar berlalu
tetapi sedikit sekali yang berubah’. Lightman menggambarkan keadaan tersebut
dengan obrolan dua pasang suami-istri yang bertempat di pertemuan tahunan di
sebuah hotel. Dituturkan, pendapat seorang istri tentang serbet hotel, telah
dikatakannya setahun yang lalu (h. 33).
Penggambaran tentang keadaan yang perubahannya sangat sedikit itu kemudian
diperkuat ketika, salah seorang suami menanyakan kabar anak-anak pasangan
lainnya, hanya dijawab dengan, “Bertambah umur satu tahun” (h. 34). Di sini, Lightman
dengan intensitas yang terjaga dapat menggambarkan suatu dunia dengan waktu
yang bergerak lamban sekali, atau suatu dunia yang perubahannya sedikit sekali
dalam gerak waktu.
Sayangnya, ada pula mimpi tentang waktu yang dilukiskan dengan intensitas
lebih rendah, penggambarannya tentang suatu konsepsi waktu kurang terjaga
koherensinya. Contoh, mimpi di tanggal “11 Juni 1905” tentang ‘waktu yang
berakhir pada masa kini’. Dikatakan, “... waktu adalah garis yang berakhir pada
masa kini, baik dalam kenyataan maupun pikiran” (h. 97). Namun dalam
penggambarannya, dilukiskan ‘kenyataan memiliki masa depan’ seperti dalam,
“Setelah duapuluh menit, badai pun berlalu, hujan berhenti, dan langit menjadi
cerah” (h. 99), dan hanya pikiran manusianya - dalam mimpi ini seorang pemuda -
yang tidak bisa membayangkan masa depan. Di sini, Lightman kurang bisa menjaga
intensitasnya dalam menggambarkan waktu yang berakhir pada masa kini baik dalam
kenyataan maupun pikiran. Penggambarannya justru melukiskan waktu yang berakhir
pada masa kini dalam pikiran manusia, dan karena itu tokohnya melihat kekinian
sebagai keakhiran, sedangkan dalam kenyataannya waktu terus berjalan.
Mimpi-mimpi Einstein bisa diterima sebagai sebuah novel tentang refleksi waktu
(objektif). Maksudnya, sebuah novel yang menceritakan bagaimana keadaan suatu
dunia - serta manusia sebagai penghuninya - dengan suatu bentuk waktu, dan
bagaimana pula keadaan suatu dunia dengan bentuk waktu yang lain. Namun, bisa
juga diterima sebagai sebuah novel tentang penghayatan waktu (subjektif).
Maksudnya, sebuah novel yang menuturkan tentang bagaimana manusia menghayati
waktu, yang ada kalanya seperti berjalan melingkar, sementara di kala lain
seakan surut ke belakang.
Saya sendiri memlilih yang kedua, menerima novel Lightman tersebut sebagai
suatu novel tentang penghayatan waktu. Di mana, kita tinggal di bumi secara
bersama, kita mengukur waktu secara bersama pula, berdasarkan revolusi planet
yang kita huni bersama mengitari matahari, dan berdasarkan rotasinya berputar di
porosnya sendiri, yang kemudian kita cacah, tahun jadi bulan, bulan jadi
minggu, minggu jadi hari, hari jadi jam, jam jadi menit, dan menit jadi detik.
Namun demikian, tiap-tiap kita menghayati waktu secara sendiri-sendiri,
berdasarkan apa yang sedang kita alami. Misalnya, waktu seakan berjalan terlalu
lambat untuk seorang anak yang ingin cepat tumbuh dewasa. Namun, waktu yang
sama seakan terlalu cepat berlalu bagi orang tua yang melihat anaknya tumbuh
dewasa dan mulai mempunyai kehidupan sendiri.
Bahkan, waktu bisa dihayati secara berbeda di tempat yang sama.
Ilustrasinya sebagai berikut. Di sebuah pusat perbelanjaan, bagi seorang
penjaga toko yang menjalankan rutinitas hariannya, waktu seakan berjalan
melingkar, datang, buka toko, melayani pembeli, makan siang, melayani pembeli
lain, tutup toko, pulang, dan keesokan harinya, semuanya itu ia ulangi lagi.
Bagi seorang pengunjung yang melihat teman SMA-nya, waktu seakan surut ke
belakang, membawanya kembali ke masa SMA ketika ia dan temannya belajar bersama,
atau bolos bareng. Bagi sepasang kekasih yang bercengkerama di coffee shop, waktu seakan berjalan
sangat cepat, baru ngobrol sebentar,
si pelayan sudah memberikan bill dan
memberitahu bahwa coffee shop akan
tutup sebentar lagi.